Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)

Penahanan Thomas Trikasih Lembong terkait izin impor gula pada 2015 menimbulkan banyak pertanyaan.

Kasus ini mengandung kejanggalan karena kebijakan impor gula merupakan keputusan kolektif yang diterapkan oleh beberapa Menteri Perdagangan di era Presiden Jokowi (lihat tabel). 

Sejak 2013, menteri-menteri perdagangan lain, seperti Enggartiasto Lukita, Agus Suparmanto, dan Muhammad Lutfi, juga memberikan izin impor gula dengan alasan yang beragam, dari stabilisasi harga hingga menjaga pasokan dalam negeri (lihat tabel).

Namun, hanya Lembong yang ditahan, sementara izin impor gula pada masa menteri-menteri lain berjalan tanpa tindakan hukum serupa.

Keputusan menahan Lembong memberi kesan adanya standar ganda dalam penegakan hukum. Jika alasan utama penahanan adalah surplus gula pada 2015 saat izin diberikan, maka kondisi serupa pada masa menteri lainnya juga seharusnya dievaluasi.

Hal ini semakin aneh mengingat data tahun-tahun berikutnya menunjukkan pola kebijakan yang sama, meskipun pemerintah sering mengklaim swasembada gula atau surplus gula, seperti pada 2018, 2021, dan 2022.

Namun, izin impor terus diberikan dan bahkan mencapai angka tertinggi pada 2022. Kondisi ini mengundang spekulasi bahwa ada unsur tebang pilih dalam proses hukum terhadap Lembong (lihat tabel).

Peran PT PPI dalam Kebijakan Impor Gula

PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebuah BUMN, telah aktif dalam impor gula sejak 2009, untuk mengatasi kekurangan stok gula nasional. PPI diberikan mandat untuk menstabilkan persediaan gula domestik, tetapi keanehan muncul ketika tuduhan dari Kejaksaan Agung mengungkap bahwa gula yang diimpor dijual ke pihak swasta, bukan langsung ke publik.

Jika benar terjadi kekurangan transparansi dalam praktik ini, maka PPI bukanlah satu-satunya pihak yang seharusnya bertanggung jawab, apalagi jika kebijakan impor gula ini telah berlangsung selama satu dekade di bawah berbagai kepemimpinan.

Mengingat bahwa izin impor diberikan oleh berbagai Menteri Perdagangan dalam periode tersebut, logisnya seluruh pihak terkait, termasuk menteri-menteri lain, harus diperiksa. Dengan hanya menahan Lembong, proses hukum tampak tidak konsisten.

Pada 2022, impor gula mencapai angka tertinggi selama satu dekade, menunjukkan bahwa pola impor dengan melibatkan PPI tetap berlangsung meskipun kondisi pasokan dalam negeri kerap kali cukup.

Namun, kebijakan ini hanya membawa Lembong ke meja hijau, sementara menteri-menteri lain yang memprakarsai izin serupa tetap bebas dari tindakan hukum.

Tuduhan Terkait Surplus Gula yang Tidak Konsisten

Kejaksaan menuduh bahwa penetapan Lembong sebagai tersangka terkait dengan izin impor yang diberikan saat Indonesia dalam kondisi surplus gula berdasarkan rapat antarkementerian pada Mei 2015.

Meskipun begitu, kejanggalan muncul karena keputusan serupa berulang kali dilakukan oleh menteri perdagangan lainnya di era yang sama tanpa konsekuensi hukum.

Misalnya, pada 2018, pemerintah mengumumkan swasembada gula, namun tetap memberikan izin impor sebesar 4,6 juta ton (lihat data).

Pada 2021 dan 2022, surplus gula nasional kembali diklaim, tetapi angka impor mencapai rekor tertinggi pada 2022 dengan lebih dari 6 juta ton. Bahkan kebijakan impor beras menunjukkan pola serupa: pemerintah sering mengklaim swasembada, tetapi tetap mengimpor dengan alasan menjaga harga atau persediaan. Meskipun banyak Menteri Perdagangan melakukan kebijakan serupa, tindakan hukum hanya diarahkan pada Lembong, menciptakan ketidakadilan yang jelas dalam penegakan hukum.

Tuduhan Manipulasi Transaksi dengan PT PPI

Kejaksaan menuduh bahwa Lembong memberikan izin impor gula kristal mentah sebesar 105.000 ton kepada PT AP, sebuah perusahaan swasta, meskipun aturan mengharuskan impor gula dilakukan oleh BUMN.

Yang menjadi keanehan, Direktur Pengembangan Bisnis PPI, Charles Sitorus, juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Jika benar Lembong yang memberikan izin, maka tanggung jawab seharusnya berada padanya, dan peran PPI perlu dipertanyakan secara lebih rinci.

Sebagai BUMN, PPI bertugas melaksanakan kebijakan dan distribusi gula yang diimpor sesuai izin dari kementerian, bukan untuk mengalihkan distribusi ke pihak swasta. Tuduhan bahwa PPI menjual gula yang seharusnya didistribusikan ke masyarakat tanpa koordinasi juga menimbulkan pertanyaan.

Jika PPI aktif dalam distribusi atau transaksi yang melanggar aturan, maka semestinya tanggung jawab operasional berada pada PPI, dan peran Lembong seharusnya terbatas pada pemberian izin. Tuduhan ini menimbulkan asumsi bahwa keterlibatan PPI dalam impor gula mungkin lebih besar dari sekadar pelaksana kebijakan dan bahwa dinamika internal PPI juga berpotensi mempengaruhi arah kasus ini.

Kejanggalan dalam Tuduhan Harga Jual di Atas HET

Keanehan lain dalam kasus ini adalah tuduhan bahwa gula yang diolah dari impor kemudian dijual dengan harga di atas HET sebesar Rp16.000 per kilogram, sementara HET saat itu adalah Rp13.000.

Hal ini dituduhkan sebagai pelanggaran oleh Lembong, padahal harga dan distribusi operasional sepenuhnya merupakan wewenang PPI, bukan Menteri Perdagangan.

Sebagai menteri, peran Lembong terbatas pada kebijakan makro dan izin impor, bukan pada pelaksanaan distribusi atau kontrol harga di lapangan. Jika memang PPI menjual di atas HET tanpa operasi pasar, maka seharusnya tanggung jawab hukum lebih difokuskan pada pihak PPI yang melaksanakan penjualan.

Tuduhan ini semakin menunjukkan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap peran PPI dan pihak yang terlibat langsung dalam distribusi.

Manipulasi Transaksi yang Tidak Dijelaskan Secara Komprehensif

Tuduhan manipulasi transaksi juga mengundang tanda tanya. Dalam tuduhan ini, gula yang diolah perusahaan swasta dijual seolah-olah melalui PPI, padahal sebenarnya langsung dijual oleh perusahaan swasta kepada masyarakat. Jika benar demikian, seharusnya pihak yang melakukan penjualan langsung, yaitu perusahaan swasta dan direktur PT AP, ikut diperiksa secara hukum.

Kenyataannya, direktur perusahaan swasta PT AP tidak ditetapkan sebagai tersangka, sementara Lembong yang hanya memberikan izin telah ditahan terlebih dahulu. Hal ini memberikan kesan bahwa tanggung jawab hukum hanya diarahkan kepada Lembong, meskipun tindakan penjualan gula yang menyalahi prosedur justru dilakukan oleh pihak swasta. Ketidakadilan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai objektivitas dan transparansi dalam proses penegakan hukum yang melibatkan kasus ini.

Catatan Penting

Kejanggalan-kejanggalan dalam kasus ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dalam penegakan hukum. Sepanjang 10 tahun terakhir, beberapa Menteri Perdagangan menerapkan kebijakan impor gula dengan pola serupa, namun hanya Lembong yang diproses hukum dan langsung ditahan.

Tuduhan manipulasi transaksi, penjualan di atas HET, dan pemberian izin tanpa rekomendasi instansi terkait menyoroti peran PPI dan pihak swasta dalam praktik distribusi yang menyimpang.

Tanpa pemeriksaan menyeluruh terhadap semua pihak yang terlibat dalam kebijakan impor ini, kasus Lembong tampak tidak adil dan memberi kesan tebang pilih. Untuk menjaga kredibilitas lembaga penegak hukum, sangat penting memastikan bahwa setiap pihak yang memiliki tanggung jawab atau pengaruh dalam pelaksanaan impor gula diperiksa.

Tanpa pemeriksaan menyeluruh, tindakan menahan Lembong seorang diri tampak sebagai upaya pengalihan tanggung jawab dan mencerminkan standar ganda dalam proses hukum.

Bacaan lain: Bongkar Mafia di Balik Kasus Korupsi Impor Gula, Ada Menteri Terlibat?