Pembentukan nomenklatur kementerian baru dalam pemerintahan sering kali menjadi sorotan, terutama ketika langkah tersebut tidak dilandasi kajian akademik yang memadai.

Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan dalam konteks pemerintahan yang baik, perubahan struktural semacam ini seharusnya mempertimbangkan berbagai aspek penting, seperti efektivitas, efisiensi, serta relevansi birokrasi terhadap kebutuhan rakyat.

“Sayangnya, jika pembentukan kementerian lebih didorong oleh selera atau preferensi pribadi seorang presiden, risiko yang dihadapi bisa sangat besar. Dampak dari keputusan semacam ini tidak hanya bersifat jangka pendek tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah serius dalam jangka panjang,” kata Achmad, hari ini.

Salah satu bahaya terbesar ketika pembentukan kementerian atau badan baru hanya mengikuti selera presiden adalah hilangnya dasar akademis yang kuat sebagai landasan keputusan.

Pembentukan kementerian seharusnya melalui proses evaluasi yang mendalam, yang melibatkan para pakar dari berbagai disiplin ilmu, terutama dalam bidang administrasi negara dan kebijakan publik.

Pengetahuan akademis sangat penting untuk memastikan bahwa pembentukan kementerian benar-benar relevan dan efisien dalam menghadapi tantangan sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi negara.

“Namun, ketika landasan akademis diabaikan dan keputusan lebih didasarkan pada preferensi personal atau kalkulasi politik, maka akan terjadi penumpukan struktur birokrasi yang justru memperlambat kinerja pemerintah,” kata Achmad.

Birokrasi pemerintahan adalah mesin yang seharusnya berfungsi secara profesional dan objektif. Birokrasi memiliki aturan main dan sistem yang dirancang untuk melayani kepentingan masyarakat secara luas.

Oleh karena itu, birokrasi tidak boleh menjadi korban perubahan yang hanya didasarkan pada like dan dislike seorang presiden. Sifat birokrasi yang harus stabil dan konsisten memerlukan keputusan yang matang serta dipandu oleh data dan analisis yang kuat.

Pembentukan kementerian baru yang hanya menyesuaikan dengan selera pemimpin tertinggi berpotensi merusak tatanan ini.

Contoh nyata dari dampak negatif pembentukan kementerian berdasarkan selera presiden adalah terjadinya tumpang tindih kewenangan dan ketidakefisienan dalam pelaksanaan tugas.

“Pembentukan kementerian baru tanpa pertimbangan yang tepat sering kali menciptakan situasi di mana beberapa kementerian memiliki peran dan tanggung jawab yang saling tumpang tindih,” kata Achmad.

Sehingga ketika tugas-tugas kementerian baru tidak terdefinisikan dengan jelas, akan sulit bagi birokrasi untuk berfungsi secara efektif.

Tumpang tindih ini tidak hanya membingungkan pegawai negeri yang bekerja di dalam birokrasi, tetapi juga menghambat proses pengambilan keputusan yang seharusnya cepat dan tepat.

Selain itu, pembentukan kementerian yang hanya didasarkan pada preferensi presiden dapat mengakibatkan alokasi anggaran yang tidak efisien.

Setiap kementerian membutuhkan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun keuangan, untuk menjalankan fungsinya dengan baik.

Pembentukan kementerian baru secara sembarangan akan menyebabkan anggaran negara terkuras untuk membiayai operasional kementerian yang mungkin sebenarnya tidak dibutuhkan.

“Alokasi anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk progrram-program yang lebih berdampak luas pada kesejahteraan masyarakat malah habis untuk mendanai struktur birokrasi yang terlalu besar,” kata Achmad.

Risiko lainnya adalah penurunan kualitas pelayanan publik. Ketika birokrasi dipenuhi oleh kementerian yang terbentuk hanya karena keinginan atau preferensi politik presiden, fokus birokrasi akan terpecah dan menjadi tidak efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Alih-alih berfokus pada upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, birokrasi akan sibuk mengurus struktur internal yang tidak relevan dengan kebutuhan nyata di lapangan.

“Hal ini akan menciptakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat karena mereka tidak mendapatkan pelayanan yang memadai dari pemerintah,” kata Achmad.

Selain itu, presiden yang secara subjektif membentuk kementerian berdasarkan keinginan pribadi juga dapat menciptakan ketergantungan yang berbahaya di dalam birokrasi.

Pegawai negeri akan merasa bahwa keputusan karir mereka, bahkan keberlanjutan posisi mereka, sangat bergantung pada apakah mereka disukai atau tidak oleh presiden.

“Hal ini bisa mengakibatkan moralitas yang buruk di kalangan birokrat, di mana integritas profesional mereka dipertaruhkan demi mencari “like” dari presiden. Padahal, birokrasi harus berfungsi independen dari preferensi politik siapa pun dan mengutamakan kepentingan publik,” kata Achmad.

Secara keseluruhan, pembentukan kementerian yang tidak memiliki dasar akademik dan hanya berdasarkan preferensi presiden adalah langkah yang berisiko tinggi.

Pemerintahan yang stabil dan efektif membutuhkan struktur birokrasi yang dirancang dengan matang, berdasarkan kajian ilmiah dan data yang valid.

Birokrasi yang profesional harus dijaga dari intervensi politik yang berlebihan, terutama yang bersifat subjektif.

Jika keputusan pembentukan kementerian baru tidak didasarkan pada pertimbangan yang matang, bukan hanya birokrasi yang akan terpengaruh, tetapi juga kualitas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

“Pada akhirnya, yang dirugikan adalah rakyat yang seharusnya menjadi penerima manfaat dari kinerja pemerintahan yang efisien dan akuntabel,” kata Achmad.

Sumber: mediaindonesia.com