Jakarta, CNN Indonesia — Presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan akan menambah jumlah kementerian/lembaga di pemerintahannya nanti.
Rencana penambahan kementerian yang telah terendus adalah Kementerian Perumahan. Wacana pembentukan Kementerian Perumahan di pemerintahan Prabowo mulanya dibocorkan oleh Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo.
Artinya, bidang perumahan yang saat ini masih tergabung dalam Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bakal dipisah lagi seperti dulu.
Pria yang akrab disapa Tiko itu menjelaskan saat ini dibutuhkan kementerian yang benar-benar fokus pada sektor perumahan.
“Saya dengar mungkin ke depan akan ada pemisahan, ada Kementerian Perumahan. Fokusnya berubah kalau ini ke perumahan lagi, jadi kita bisa berusaha lebih keras dengan pemerintah untuk membantu konsep development yang lebih teregulasi,” ucap Tiko dalam pidatonya pada pembukaan acara Launching The New Face of Apartment Samesta Sentraland Cengkareng, Senin (13/5), mengutip detikproperti.
Tak hanya kementerian, Prabowo juga disebut-sebut akan menambah jumlah badan. Tak tanggung-tanggung, Prabowo akan menambah tiga badan setelah Badan Gizi Nasional dibentuk di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Rencana itu dibocorkan oleh Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Ferry Latuhihin.
“Kan ada empat badan baru yang (akan) dikeluarkan (dibentuk Prabowo),” kata Ferry usai Indonesia Energy Forum 2024 di Jakarta Selatan, Selasa (10/9).
Setelah Badan Gizi Nasional, Prabowo katanya akan membentuk Badan Pengelola Pengendali Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon (BP3I-TNK). Kemudian Badan Penerimaan Negara.
“Satu lagi, mungkin badan yang berurusan dengan Bulog, dengan pangan, saya kurang tahu,” jelasnya.
Lantas perlukah Prabowo membentuk K/L baru untuk menjalankan program-program andalannya?
Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan Prabowo tidak perlu membentuk K/L baru. Alasan utamanya adalah efisiensi penggunaan anggaran negara.
Menambah K/L baru, sambungnya, berpotensi menambah beban keuangan negara karena harus mengalokasikan dana untuk membangun infrastruktur fisik, operasional, dan penggajian pegawai baru.
Padahal keuangan negara seharusnya dialokasikan untuk program-program pembangunan yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat seperti pendidikan dan kesehatan.
Achmad mengatakan pembentukan K/L baru justru berpotensi menambah kerumitan dan menghambat koordinasi di dalam pemerintahan.
“Dalam konteks birokrasi yang sudah kompleks, penambahan struktur baru sering kali malah menambah tumpang tindih fungsi, memperlambat pengambilan keputusan, dan meningkatkan risiko kebingungan dalam pelaksanaan kebijakan,” katanya kepada CNNIndonesia.com.
Pada saat yang sama, sambungnya, pembentukan K/L baru juga bisa mengganggu stabilitas pengelolaan sumber daya manusia, karena harus ada pengaturan ulang alokasi tenaga kerja antar instansi.
Achmad mengatakan pengalaman dari masa lalu menunjukkan bahwa ketika pemerintah membentuk K/L baru, ada kecenderungan terjadi tumpang tindih tugas yang akhirnya mengakibatkan kebijakan yang tidak berjalan efektif. Contoh yang relevan katanya adalah pembentukan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pada era Jokowi periode pertama, yang pada akhirnya dilebur kembali ke Kementerian Pariwisata karena terjadi duplikasi tugas dan tidak efektif dalam menjalankan fungsinya.
Alih-alih membentuk K/L baru, Achmad menyarankan pemerintah fokus pada penguatan kementerian yang sudah ada dan memastikan koordinasi yang lebih baik antar instansi untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan.
Pembentukan K/L baru harus dilihat sebagai solusi terakhir dan hanya dilakukan jika benar-benar mendesak serta tidak dapat ditangani oleh lembaga yang sudah ada.
“Jika pembentukan K/L baru memang dianggap diperlukan, maka hal itu harus didasarkan pada kebutuhan rakyat bukan kepada akomodasi politik saat Pilpres maupun untuk KIM Plus,” katanya.
Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan K/L baru boleh saja dibentuk asalkan tugasnya tidak tumpang tindih dengan K/L yang saat ini sudah ada. Karena itu, pemerintah harus benar-benar mengkaji apakah perlu dibentuk K/L baru jika yang saat ini ada sudah cukup.
Ia mencontohkan pembentukan Bekraf di era Jokowi yang bertugas mengurus ekonomi kreatif, tetapi ujung-ujungnya dilebur dengan Kementerian Pariwisata.
“Jadi harus ada hitungan yang matang. Jangan sampai tujuannya adalah akomodir permintaan jatah parpol,” katanya.
Nailul mengatakan yang menjadi tantangan dalam membentuk K/L baru adalah restrukturisasi di K/L lama serta penyesuaian K/L baru. Ini yang menyebabkan penyerapan anggaran dan realisasi program berjalan lambat.
“Belum lagi menyesuaikan organisasi, arah pembangunan, kebijakan pembangunan, hingga program pembangunan yang pasti akan berubah. Penyesuaiannya perlu dua sampai tiga tahun,” imbuhnya.
Sumber: cnnindonesia.com