Terkait wacana pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan mengalihkan subsidi BBM dan LPG ke skema bantuan langsung tunai (BLT), sejumlah ekonom mengingatkan agar jangan gegabah.
Pikirkan dampaknya, apakah betul kesengsaraan ekonomi yang dialami masyarakat khususnya kelompok menengah-bawah, menjauh?Jangan-jangan malah sebaliknya.
Ekonom UPN Veteran, Achmad Nur Hidayat mempertanyakan pernyataan Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah tentang wacana perubahan skema penyaluran subsidi BBM, LPG dan listrik menjadi BLT.
Menurut mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu, perubahan skema itu berdampak positif terhadap APBN. Ada penghematan anggaran hingga Rp200 triliun.
“Wacana itu menimbulkan diskursus yang menarik. Perubahan mekanisme subsidi (BBM dan LPG) menjadi BLT, apa benar memberikan manfaat signifikan? Bagaimana jika pengelolaannya belum baik di lapangan? Demikian pula dengan akurasi data penerimanya yang masih menimbulkan pertanyaan di sana-sini,” papar Matnur, sapaan akrabnya, Jakarta, Senin (30/9/2024) .
Matnur sepakat dengan asumsi bahwa pelaksanaan BLT lebih tepat sasaran ketimbang subsidi BBM dan LPG. Karena, banyak kalangan menengah ke atas bisa menikmati subsidi BBM dan LPG.
Namun, risiko fraud dan tantangan implementasi menjadi perhatian utama yang harus diantisipasi oleh pemerintah. “Salah satu tantangan utama dari kebijakan BLT adalah masalah validasi data penerima,” kata Matnur.
Program BLT harus menggunakan data yang valid dan terverifikasi, seperti Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial (kemensos). Namun, proses validasi dan pembaruan data ini, seringkali menemui masalah.
Banyak hal yang menjadi biang keroknya. Misalnya, keterbatasan kapasitas daerah, keterlambatan pemutakhiran, atau potensi manipulasi di lapangan. “Jika ini tidak dikelola dengan baik, bukan hanya penghematan yang gagal dicapai. Tetapi potensi ketidakadilan dalam distribusi bantuan yang bakal terjadi,” ungkapnya.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menerangkan, subsidi energi (BBM, LPG dan PLN), diganti menjadi BLT, di satu sisi menghemat impor BBM dan memangkas signifikan anggaran subsidi BBM.
Kebijakan ini, kata dia, memaksa masyarakat menggunakan transportasi umum dan mempercepat transisi energi. “Tapi perlu diperhatikan fakta bahwa penerima BLT dan pengguna BBM subsidi, tidak semuanya sama,” ujar Bhima.
Ke depan, menurutnya, BLT perlu menyasar masyarakat rentan miskin, serta aspiring middle class. Selama ini, BLT hanya menyasar kelompok miskin. Sementara kelas menengah rentan miskin, diumbar begitu saja.
Ketika penghapusan subsidi energi dialihkan, bisa jadi, kelas menengah rentan miskin itu, turun pangkat menjadi kelompok miskin.
“Jika kompensasi subsidi BBM tetap terbatas (hanya kelompok miskin), maka akan terjadi pelemahan daya beli yang cukup signifikan. Bisa jadi konsumsi tumbuhnya kurang dari 4 persen. Nah, jangan berharap ekonomi bisa tumbuh tinggi,” ungkapnya.
Sebelumnya, Burhanuddin mengatakan, subsidi energi baik BBM, elpiji hingga listrik akan lebih efektif jika diberikan berbentuk BLT. Alasannya itu tadi, bisa lebih tepat sasaran.
Selama ini, menurut Burhanuddin, warga miskin tidak menikmati subsidi BBM dan LPG karena tidak memiliki kendaraan, ditambah dengan penggunaan LPG bersubsidi yang hanya membantu untuk jangka waktu singkat. “Subsidi untuk energi bisa dialihkan menjadi hal yang lebih produktif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia,” pungkasnya.
Sumber: inilah.com