Oleh: Achmad Nur Hidayat (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)

Beberapa hari lalu, ada statement terlontar dari Ketua Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah, soal wacana perubahan mekanisme subsidi BBM, gas, dan lainnya menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Wacana ini diklaim bisa menghemat anggaran negara hingga 200 triliun. Pernyataan ini tentu menimbulkan diskusi yang menarik terkait efektivitas pengalihan subsidi energi yang selama ini diterapkan.

Perubahan mekanisme subsidi menjadi BLT bisa memberikan manfaat signifikan jika dikelola dengan baik dan data penerima dijaga keakuratannya. 

BLT berpotensi menjadi lebih tepat sasaran dibandingkan subsidi BBM dan gas, yang selama ini lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah ke atas.

Subsidi energi memang sudah lama dikritik karena cenderung tidak merata dan kurang adil. Mengalihkan subsidi ke bentuk tunai bisa memperbaiki distribusi bantuan dan lebih langsung menyasar masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Awas Ada Resiko Kesejahteraan Masyakarat Menengah Bawah

Namun, di sisi lain, risiko fraud dan tantangan implementasi menjadi perhatian utama yang harus diantisipasi oleh pemerintah.

Akurasi data penerima menjadi elemen krusial dalam memastikan keberhasilan program ini. Potensi penyalahgunaan, seperti penerima fiktif atau mereka yang tidak berhak tetap menerima bantuan, bisa terjadi jika data penerima tidak diperbaharui secara berkala. Maka, klaim penghematan anggaran hingga 200 triliun perlu dikaji lebih dalam, terutama dalam aspek efisiensi administrasi dan efektivitas distribusi BLT.

Salah satu tantangan utama dari kebijakan BLT adalah masalah validasi data penerima.

Program BLT harus menggunakan data yang valid dan terverifikasi, seperti DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dari Kementerian Sosial.

Namun, proses validasi dan pembaruan data ini sering menemui masalah, seperti keterbatasan kapasitas daerah, keterlambatan pemutakhiran, atau potensi manipulasi di lapangan. Jika ini tidak dikelola dengan baik, bukan hanya penghematan yang gagal dicapai, tetapi juga potensi ketidakadilan dalam distribusi bantuan yang dapat terjadi.

Selain itu, subsidi BBM dan gas selama ini memiliki dampak langsung pada daya beli masyarakat. Jika mekanisme ini diganti dengan BLT, penting untuk memastikan bahwa jumlah BLT yang diterima mampu menutupi kenaikan harga energi yang mungkin terjadi akibat pengurangan subsidi. Jika tidak, daya beli masyarakat menengah ke bawah akan terdampak signifikan, yang justru dapat memperburuk situasi ekonomi mereka.

Program BLT berbasis subsidi energi memerlukan sistem distribusi yang andal, transparan, dan mudah diakses. Potensi kendala teknis, seperti akses terhadap perbankan dan teknologi, terutama di wilayah terpencil, perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan masalah baru. Maka dari itu, sebelum kebijakan ini diimplementasikan, diperlukan persiapan matang dan kajian mendalam, terutama dalam memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar bisa menghemat anggaran tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat yang paling rentan.

Sumber: strateginews.id