Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta

Kebijakan tambahan iuran pensiun yang bersifat wajib, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), seharusnya dipertimbangkan ulang dan ditunda implementasinya.

Kebijakan ini tidak hanya kurang mendesak dalam situasi ekonomi saat ini, tetapi juga berpotensi menghancurkan daya beli masyarakat dan menurunkan pendapatan riil pekerja, yang sudah berada dalam tekanan. Berikut 4 alasan kenapa kebijakan tersebut harus ditunda.

Pertama, Kondisi ekonomi belum pulih sepenuhnya. Meski ekonomi Indonesia mulai stabil pasca-pandemi, banyak indikator menunjukkan bahwa kondisi belum pulih sepenuhnya.

Salah satu bukti nyata adalah inflasi yang menurun hingga mencapai deflasi selama empat bulan berturut-turut pada 2024, yang menandakan adanya penurunan konsumsi masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 melaporkan deflasi sebesar 0,07%, memperkuat tren penurunan harga barang dan jasa yang diakibatkan oleh lemahnya daya beli. Ini mencerminkan bahwa masyarakat masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, apalagi jika dibebani dengan iuran pensiun tambahan.

Kebijakan tambahan potongan gaji melalui iuran pensiun justru akan semakin menekan daya beli masyarakat. Ketika daya beli menurun, pertumbuhan konsumsi domestik—yang menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia—akan melambat. Jika konsumsi terhambat, maka upaya pemulihan ekonomi akan menjadi lebih sulit dan berlangsung lebih lama.

Kedua, Beban finansial pekerja semakin berat. Saat ini, pekerja dan pemberi kerja sudah menanggung berbagai potongan dari gaji mereka. Mulai dari iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Jaminan Hari Tua (JHT), hingga Tapera.

Data terbaru menunjukkan, pekerja dengan penghasilan rata-rata dikenakan potongan 5% untuk BPJS Kesehatan (4% ditanggung pemberi kerja, 1% oleh pekerja), 5,7% untuk JHT (3,7% ditanggung pemberi kerja, 2% oleh pekerja), dan 3% untuk Jaminan Pensiun (1% dari pekerja, 2% dari pemberi kerja).

Di tengah beban ini, tambahan potongan untuk iuran pensiun wajib akan semakin menekan pendapatan yang bisa dibawa pulang pekerja. Bagi pekerja berpenghasilan tetap dan mereka yang masuk kategori menengah-bawah, penurunan disposable income ini akan berdampak langsung pada kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka yang sudah mengalokasikan pendapatan untuk cicilan rumah, pendidikan, dan kebutuhan pokok lainnya akan kesulitan menambah pos pengeluaran baru.

Ketiga, Merosotnya daya beli dan ekonomi rumah tangga. Tambahan iuran pensiun ini tidak hanya menurunkan pendapatan bersih pekerja, tetapi juga menciptakan ekspektasi penurunan daya beli.

Ketika pendapatan bersih turun, rumah tangga akan beradaptasi dengan mengurangi konsumsi, memperketat pengeluaran, dan menunda pembelian barang-barang non-esensial. Tambahan potongan gaji tersebut dapat merusak daya beli rumah tangga, yang berakibat pada perlambatan ekonomi. Dengan kondisi ekonomi saat ini yang masih rapuh, pengurangan daya beli hanya akan memperburuk situasi. Bahkan, tambahan iuran pensiun tidak mendesak, terutama bagi pekerja dengan penghasilan di atas Rp5-15 juta per bulan yang sudah menanggung berbagai iuran wajib. Pengusaha BUMN dan swasta juga sudah memiliki skema dana pensiun sendiri, sehingga penerapan kebijakan ini terkesan berlebihan.

Keempat, Prioritas kebijakan yang kurang tepat. Mengingat kondisi saat ini, kebijakan tambahan iuran pensiun wajib tidak hanya kurang mendesak, tetapi juga cenderung tidak tepat sasaran.

Pemerintah seharusnya lebih fokus pada penguatan sistem pensiun yang sudah ada, memastikan bahwa pengelolaan dana pensiun BPJS, TASPEN, dan ASABRI lebih transparan dan efisien, serta menutup celah korupsi di sektor ini. Terlebih lagi, bagi pekerja dengan pendapatan di atas Rp15 juta, banyak dari mereka yang sudah mengelola keuangan untuk masa pensiun melalui investasi seperti reksa dana, saham, atau properti.

Kebijakan tambahan iuran pensiun seharusnya ditunda. Mengingat tekanan ekonomi yang sudah dihadapi pekerja, menambah beban keuangan mereka hanya akan memperburuk daya beli, memperlemah konsumsi, dan menghambat pemulihan ekonomi. Pemerintah perlu lebih berhati-hati dan menunggu kondisi ekonomi yang lebih stabil sebelum memaksakan kebijakan ini. Sebagai alternatif, fokus pemerintah harus diarahkan pada upaya memperbaiki sistem pensiun yang ada dan mengatasi persoalan pengelolaan dana pensiun, bukan menambah beban baru bagi pekerja.

Sumber: neraca.co.id