Tahun terakhir pemerintahan Jokowi, impor beras diperkirakan melonjak hingga 5,17 juta ton. Kalau ditotal, sepanjang pemerintahan Jokowi, impor beras tembus 9,4 juta ton. Terbesar dibanding era presiden sebelumnya.
Kali ini, ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat (ANH), mengkritisi impor beras pada 2024 yang diperkirakan mencapai 5,17 juta ton. Mencerminkan kebijakan ketahanan pangan lebih menekankan kepada ketahanan semata, tanpa fokus kemandirian pangan.
“Kebijakan yang mempermudah importasi, tentu saja untuk menyenangkan mafia impor dan konsumen. Mengakibatkan kerugian bagi produsen lokal. Khususnya petani dan pekerja yang mengolah hasil pertanian,” kata ANH, Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Menurut Matnur, sapaan akrabnya, pemerintahan Jokowi terkesan lebih fokus menjaga stabilitas pasokan dan harga beras di pasar domestik. Tak heran jika importasi beras terjadi berulang kali.
“Ketika produksi beras dalam negeri diperkirakan tidak mencukupi, solusi cepat yang diambil pemerintah adalah impor beras. Dalihnya menekan inflasi dan kerusuhan sosial. Namun, kebijakan impor tidak menyentuh akar masalah, yakni rendahnya produktivitas pertanian domestik akibat kurangnya dukungan dan investasi di sektor pertanian,” papar Matnur.
Ketergantungan terhadap impor, menurutnya, diakibatkan praktik korupsi dan keberadaan mafia impor yang mencari keuntungan dari kebijakan ini. Termasuk dugaan mark-up impor beras senilai Rp8,5 triliun yang menyeret Perum Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Dalam jangka pendek, kata dia, kebijakan yang melupakan ketahanan pangan namun menghambakan impor, efektif untuk menjaga pasokan dan stabilisasi harga.
“Namun untuk jangka panjang, kebijakan ini merugikan produsen lokal. Petani dan pekerja sektor pertanian mengalami kerugian karena mereka tak mampu bersaing dengan beras impor yang lebih murah,” ungkapnya.
Selain itu, lanjut Matnur, penyaluran bantuan sosial (bansos) pangan beras oleh Bapanas dan Perum Bulog yang seharusnya menjadi tugas Kementerian Sosial (Kemensos), mencerminkan kurang fokus dan koordinasi dalam menjalankan kebijakan pangan.
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan mencapai swasembada beras, menurut Matnur, pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan pangan yang lebih fokus kepada kemandirian pangan.
“Lakukan peningkatan produktivitas pertanian: Tingkatkan investasi dalam teknologi pertanian, penyuluhan dan pelatihan bagi petani, serta perbaikan infrastruktur pertanian seperti sistem irigasi dan jalan pertanian,” paparnya.
Tak berhenti di situ, lanjutnya, pemerintah sudah waktunya memberikan bantuan berupa varietas padi unggul yang tahan terhadap perubahan iklim dan penyakit untuk petani. Agar produksi beras nasional tak lagi bergantung impor.
Langkah lain yang diajukan Matnur adalah diversifikasi sumber pangan. Kongkretnya, mengurangi ketergantungan kepada beras dengan mendorong konsumsi pangan lokal. Misalnya jagung, ubi, dan sagu. “dan masih banyak lagi hal-hal lain yang bisa dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Komunitas Industri Beras Rakyat (Kibar), Syaiful Bahri membeberkan data impor beras era Jokowi yang benar-benar membeludak. Total impor saat Jokowi berkuasa (2015-2024) mencapai 9,4 juta ton.
Jauh lebih besar ketimbang impor beras saat Soeharto berkuasa (Orde Baru/Orba), sebanyak 6,1 juta ton. Saat Presiden BJ Habibie, impor beras turun sebanyak 4,35 juta ton. Ketika zaman SBY, impor beras bisa ditekan 4,5 juta ton.
Sumber: inilah.com