RENCANA proyek pembangunan Terminal Khusus Liquid Natural Gas (Tersus LNG) Denpasar, Bali, masih menuai polemik. Pasalnya, lokasi pembangunan tersus tersebut saat ini masih belum jelas ditentukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves).

Terkini, muncul usulan dari Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves, Rachmat Kaimuddin, agar terminal yang menyuplai gas ke pembangkit listrik milik PLN ini dibangun dengan skema on shore di Pelabuhan Benoa. Usulan ini bersimpang jalan dengan arahan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan yang menginginkan agar tersus LNG dibangun di perairan sejauh 4 kilometer dari bibir pantai.

Terkait hal itu, ekonom dan pengamat kebijakan publik Achmad Nur Hidayat menilai perbedaan usulan yang diutarakan Deputi dan Menteri di dalam Kemenko Marves menunjukkan ketiadaan koordinasi. “Kalau itu tidak ada koordinasi, artinya bisa jadi kita anggap kelancangan dari seorang deputi,” kata Achmad dalam keterangan tertulis, Rabu (12/7/2023).

Untuk itu, ia mendorong agar usulan dari Deputi di Kemenko Marves yang membidangi transportasi itu harus diklarifikasi terlebih dahulu. “Saya kira itu perlu diklarifikasi dulu ya, apakah memang tupoksi dari Bidang Transportasi itu sudah benar menangani masalah (tersus LNG) di Bali atau belum,” ujar lulusan Lee Kuan Yew School of Public Policy itu.

Terlepas dari polemik perbedaan usulan itu, Achmad Nur Hidayat mengatakan rencana pembangunan tersus LNG di Pelabuhan Benoa harus dikaji lebih lanjut dengan mempertimbangkan aspirasi dari masyarakat. “Saya kira dalam menetapkan lokasi tersus LNG, pemerintah harusnya tidak seenaknya memutuskan atau mengubah-ubah (rencana lokasi pembangunan), tetapi harus juga dengan suatu pertimbangan aspirasi yang matang dari masyarakat dan juga memperhatikan kepastian buat investor,” papar Achmad.

“Lokasi itu sangat penting untuk ditetapkan di awal sebelum kemudian investor masuk. Kalau kita saja di internal masih berbeda pendapat, bagaimana kepastian karena kan lokasi juga menentukan biaya operasional,” lanjutnya. Menurutnya, perbedaan usulan antara Deputi dengan Menteri di Kemenko Marves harus diselesaikan terlebih dahulu. “Investor itu kan butuh kepastian. Kalau tidak diberikan kepastian, investor juga akan menarik diri untuk masuk ke investasinya. Pemerintah harus berhati-hati, apalagi penentuan lokasi,” ujar Achmad.

Lebih lanjut, Achmad meyakini bahwa pembangunan tersus LNG pasti menimbulkan dampak lingkungan. Oleh karena itu, lanjutnya, penentuan lokasi untuk membangun tersus tersebut perlu memperhatikan peta jalan atau road map Bali. “Dan saya kira faktor lingkungan sangat penting untuk kita perhatikan. Kalau dia tercemar saja sedikit, investor mungkin akan mengurungkan niatnya untuk menjadikan Bali sebagai destinasi wisata,” pungkasnya.

Sebelumnya, PT Dewata Energi Bersih (DEB) menawarkan lokasi Tersus LNG dibangun sejauh 500 meter dari bibir Pantai Muntig Siokan, Sidakarya. Lokasi ini dianggap paling ideal karena tidak mengganggu lingkungan serta terintegrasi dengan penataan kawasan. Selain itu, konsep pengelolaan Tersus LNG yang ditawarkan PT DEB juga memberikan nilai tambah bagi Pemprov Bali dan masyarakat sekitar lokasi. Gubernur Koster pun sangat mendukung kerja sama antara PT DEB dengan PT PLN Gas dan Geothermal karena menyertakan badan usaha lokal. Hal ini dinilai menguntungkan bagi Bali karena menjadi salah satu alternatif dalam meningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor energi.

Sumber: mediaindonesia.com