Warta Ekonomi, Jakarta – Pakar Kebijakan Publik Narasi Insitute Achmad Nur Hidayat menilai subsidi motor listrik yang sepi peminat bukan dikarenakan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat, tapi karena salah desain di awal.

“Bukan soal sosialisasi, namun soal desain dan target penerima yang tidak tepat dari subsidi motor listrik,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (25/5/2023).

Sebagaimana diketahui, berdasarkan pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, baru 108 unit motor listrik yang terjual dari 200 ribu unit atau hanya 0,054% saja per Mei 2023. ia menyebut bahwa penyebabnya adalah masyarakat belum mengetahui program tersebut.

Achmad kembali menekankan bahwa serapan subsidi motor listrik begitu rendah bukan disebabkan kurangnya sosialisasi, tapi disebabkan desain kebijakan yang tidak tepat. Hal inilah yang membuat publik menjadi tidak percaya akan kredibilitas pemberian subsidi motor tersebut.

Desain kebijakan subsidi motor listrik sendiri dikhususkan bagi masyarakat kecil seperti penerima KUR, penerima Bantuan Produktif Usaha Mikro (BUPM), penerima bantuan subsidi upah, dan penerima subsidi listrik sampai dengan 900 VA.

“Mereka tidak familiar dengan pengunaan aplikasi canggih seperti Sisapira, website informasi yang memuat program subdisi motor listrik Rp7 juta,” ujar Achmad.

Dia mengatakan, calon penerima dari program tersebut bukan pemilik smartphone dan tidak familiar dengan dunia internet dan kecanggihan aplikasi mobile.

Lanjutnya, desain subsidi motor listrik juga tidak sesuai dengan keadilan dan kesetaraan ekonomi. Bagi kalangan kecil, motor listrik bukan kebutuhan utama.

“Mereka lebih membutuhkan bantuan biaya BBM, LPG, sembako, dan minyak goreng daripada subsidi membeli motor listrik baru,” ungkapnya.

Adapun proyeksi tahun 2023, program subsidi motor listrik ini tidak akan mencapai target 200 ribu unit baru motor listrik. Achmad menilai ada dua alasan. Pertama, syarat penerima subsidi motor listrik ini tidak sesuai dengan target pemerintah. Penerima adalah orang kecil yang tidak menjadikan sepeda motor listrik prioritas hidup mereka.

“Targetnya salah dari awal, di mana yang menjadi target adalah mereka yang tidak memerlukan motor, bahkan untuk aktivitasnya,” ucapnya.

Program konversi motor listrik lebih tepat ditujukan bagi kalangan driver ojek online, meski sebenarnya mereka tidak merasa urgen mengonversi motor mereka menjadi motor listrik.

Prioritas mereka adalah tarif ojek online yang lebih adil dan lebih tinggi untuk mengompensasi biaya hidup yang semakin mahal, bukan mengonversi motor mereka.

“Toh motor eksisting mereka kebanyakan masih kredit. Sementara pemilik motor dari kalangan pekerja kantoran dan pegawai (bergaji) di atas UMR, berminat untuk mendapatkan subsidi motor listrik namun mereka tergolong orang yang tidak perlu disubsidi, menurut kriteria pemerintah karena mereka kelompok menengah atas yang mampu,” jelasnya.

Sumber: wartaekonomi.co.id