Pada Zoominari Narasi Institute (17/3) Profesor Abdul Maliq memberikan analisa terkait apa yang terjadi saat ini di Kementerian Keuangan. Beliau sangat memahami sekali tentang apa yang terjadi di Kemenkeu.
Prof Abdul Malig menjelaskan, Kementerian Keuangan memiliki kewenangan yang terlalu luas, dari respon-respon Bu Sri Mulyani dari mulai DJP, PPATK, Club Motor gede itu terlalu luas kewenangan dari Kementerian Keuangan. Ini menunjukkan tatanan keuangan kita harus dievaluasi secara menyeluruh.
Terlihat sekali spend of control Kementerian Keuangan ini terlalu luas, sehingga Menteri Keuangan ini tidak mampu mengontrol kesemuanya. Sehingga ketika terjadi masalah beliau tidak mampu mengatasi secara profesional.
Harus ditata ulang sistem manajemen keuangan negara dan ini bukan lah ide baru. Pada tahun 1991 sudah direncanakan secara matang namun gagal dilaksanakan. Waktu itu ada wacana otoritas perencanaan pembangunan dijadikan satu dimana Menteri Keuangan saat itu Saleh Afif.
Pada 1991 itu sudah direncanakan dengan matang tapi entah kenapa akhirnya berhenti. otoritas penganggaran dan perencanaan pembangunan akan dijadikan satu, artinya Ditjen Anggaran Kemenkeu dan Bappenas jadi satu. Tapi itu batal terjadi tahun 1991 atau sekitar 32 tahun yang lalu.
Ironisnya ketika rencana itu batal, lalu 12 tahun kemudian yaitu tahun 2003 bukan penataan yang komprehensif yang terjadi yang terjadi justru kewenangan yang semakin terpusat di Kementerian Keuangan. Dengan terbitnya UU No 17 Tahun 2003, Bappenas tidak punya lagi kewenangan dalam hal perencanaan alokasi anggaran, jadi praktis kewenangan alokasi anggaran itu terpusat di Kementerian Keuangan. Bappenas hanya bekerja dengan kementerian Keuangan terkait perencanaan fiskal, makro dan kemudian menyusun rencana kerja pemerintah, tetapi kewenangan anggaran itu tetap di Kementerian Keuangan.
jadi sesuatu yang dulu itu pernah diwacanakan dipisahkan justru diperkuat lagi. Jadi, sekarang kita tahu 20 tahun kemudian hasilnya seperti sekarang ini. Wajar hal ini perlu untuk ditinjau ulang kembali bagaimana otoritas perencana manajemen keuangan negara ini dibagi perannya.
Kalau kita melihat good practice dari sejumlah negara lain yang baik dalam manajemen keuangannya, otoritas keuangannya fokusnya pada fungsi treasury. Ini dipisahkan dari fungsi pengelolaan pengumpulan pendapatan negara atau revenue services, badan atau lembaga yang mengelola penerimaan atau pendapatan negara ini terpisah fungsi planning dan budgeting ini juga terpisah. Kemudian Kementerian Keuangan ini fokus pada fungsi treasury, karena Menteri Keuangan adalah Bendahara Negara.
Kisruh dan hiruk pikuk yang terjadi belakangan ini tidak saja melibatkan DJP tetapi juga Bea Cukai dimana angka Rp300 triliun disebut melibatkan orang-orang di Kementerian Keuangan. Pemerintah harus melihat kembali dengan jernih tatanan manajemen keuangan negara ini.
Termasuk antara Kementerian Keuangan dan Bappenas dipecah menjadi 3 yaitu: otoritas perencanaan dan penganggaran supaya penganggaran ini didahului oleh perencanaan yang betul betul kuat, yang kedua Kementerian Keuangan fokus pada treasury jadi jangan saku kiri dan saku kanan dipegang oleh orang yang sama akan sulit mengontrol nya. Ada persoalan akuntabilitas secara mendasar.
Harus nya bidang penerimaan bisa melaporkan secara transparan berapa penerimaan negara lalu bidang planning dan budgeting bisa melakukan perencanaan kemudian bidang treasury bisa melaporkan segala macam pencatatan Manajemen Keuangan Negara.
Jadi, dengan apa yang terjadi sudah saatnya untuk menata ulang sistem manajemen keuangan negara kita sudah waktu nya kita lihat secara mendasar kita tata ulang Lembaganya yang realistis.
Kalau kita yakin negara ini semakin besar maka portofolio kementerian juga semakin besar. Jadi kalau 30 tahun yang lalu sudah diwacanakan pemisahan, maka saat ini kebutuhan akan pemisahan fungsi manajemen keuangan negara jauh lebih dibutuhkan dengan berbagai pertimbangan yang tadi sudah dipaparkan.
Tantangan PPATK
Adanyya kejanggalan transaksi Rp300 triliun yang diungkap ke publik oleh Menkopolhukam Mahfud MD berdasarkan laporan dari PPATK sangat cepat sekali berakhir. Di mata publik ini sangat tidak natural karena nilai Rp300 triliun yang terakumulasi selama bertahun-tahun, bisa cepat diklarifikasi hanya dengan sedikit pernyataan.
Menkeu Sri Mulyani tampak defensif mengenai hal ini dan publik menilai seolah-olah Sri Mulyani tidak mempercayai laporan PPATK. Padahal PPATK itu financial intellegent punya kemampuan untuk mengakses data finansial yang tidak dimiliki oleh alat negara yang lain, tentunya datanya lebih akurat karena PPATK lembaga negara dibandingkan Kementerian Keuangan.
Dalam financial intellegent PPATK punya peralatan lebih canggih dan otoritas lebih powerfull dibandingkan seluruh kementerian lain termasuk Kemenkeu. Publik melihat PPATK selama ini memiliki kredibilitas yang baik, sehingga Sri Mulyani tidak mempercayai data PPATK adalah tindakan yang keliru.
Seperti dilaporkan berbagai media saat konferensi pers bersama Mahfud MD, Menkeu menantang PPATK dengan mengatakan “Saya juga seizin Pak Mahfud ya, saya tanyakan kepada Pak Ivan Rp 300 triliun seperti apa? mbok ya disampaikan saja secara jelas kepada media, siapa-siapa yang terlibat, pohon transaksinya seperti apa, dan apakah informasi itu bisa di-share ke publik, apakah informasi itu menjadi bukti hukum, monggo, makin detil makin bagus,” ujarnya.
Komentar Sri Mulyani ini terkesan “menyerang” PPATK seolah-olah PPATK lembaga kemarin sore yang bisa salah dan asal tuduh. Padahal, PPATK adalah lembaga yang mampu mengungkapkan kasus-kasus korupsi sepanjang reformasi Indonesia.
Daripada menuduh PPATK lembaga yang asal tuduh dan tidak kredibel serta salah data, sebaiknya PPATK merilis kepada publik total pegawai Kemenkeu yang memiliki transaksi jumbo sampai total Rp300 triliun. Dengan begitu kredibilitas PPATK tidak terancam oleh bantahan Sri Mulyani.
Mengingat Kemenkeu dan PPATK ini adalah lembaga negara, maka keduanya sebaiknya saling menghormati tugas yang diberikan oleh negara kepada keduanya. Karena Rp300 triliun itu nominal yang besar dan bisa jadi ini adalah TPPU yang dilakukan oleh oknum Kemenkeu yang harus diberantas habis oleh Kementerian Keuangan.
Idealnya, kedua belah pihak baik itu PPATK maupun Kemenkeu saling menjaga marwah masing-masing lembaga dalam rangka membersihkan perilaku koruptif dari aparatur negara.
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute
Sumber: neraca.co.id