jpnn.com, JAKARTA – Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa pejabat pajak tidak boleh menaiki motor gede (moge) merupakan sebuah kemunafikan.
Sebab, menurut Achmad diketahui Sri Mulyani sendiri memiliki moge. Terlebih para pejabat pajak yang memiliki tugas untuk memungut uang pajak dari rakyat untuk membiayai jalannya pembangunan, justru hidupnya sangat mewah dikelilingi fasilitas yang harganya fantastis.
“Jadi seolah yang tertangkap dari maksud pernyataan Sri Mulyani, silahkan memiliki moge, tetapi jangan dipamerkan dan sampai terlihat oleh masyarakat. Munculkan kesan hidup sederhana padahal hartanya menumpuk. Itu sebuah kemunafikan,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis, Jumat (3/3).
Achmad mengungkapkan terlihat sekali apa yang disampaikan Sri Mulyani tersebut ialah keteladanan yang semu dan penuh kebohongan, contoh keteladanan yang riil dari seorang pemimpin.
“Salah satu fenomena yang aneh para pejabat di negara ini yang gemar mempertontonkan kemewahan dikala masyarakat dalam kondisi yang susah. Seolah hati nurani para pejabat ini sudah mati,” ungkapnya.
Diketahui Sri Mulyani sendiri meminta agar klab moge anak buahnya di Dirjen Pajak dibubarkan, yakni dengan nama Blasting Rijder DJP.
Sebelumnya, peristiwa penganiayaan Mario Dandy anak pejabat pajak Rafael Alun terus merembet kemana-mana, bahkan Diirjen Pajak Suryo Utomo pun ikut terseret imbas kasus ini.
Imbas lain yang muncul akibat kasus ini ialah makin disorotnya gaya hidup hedon para pejabat pajak.
“Bangsa ini butuh sosok pejabat negarawan dan menempatkan amanah sebagai bentuk tanggung jawab pengabdian kepada masyarakat, bukan sebagai alat untuk memperkaya diri dan keluarga,” jelasnya.
Achmad menegaskan kasus Mario Dandy menjadi pemicu terbukanya kotak pandora tentang negeri yang rakyatnya hidup sulit. Namun, para pejabatnya hidup mewah dan bergelimang harta.
“Jadi, tidak heran jika negeri ini diusianya yang sudah menginjak usia 78 tahun kehidupan rakyatnya masih jauh dari kata sejahtera, sementara para pejabatnya hidup berfoya foya yang justru dibiayai oleh uang negara. Sungguh sebuah ironi,” tegas Achmad.
Sumber: jpnn.com