BUKAMATA -Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik mengungkapkan kerusuhan yang akan dialami setelah Silicon Valley Bank (SVB) secara tiba-tiba dinyatakan ditutup oleh regulator AS pada Jumat 10/3 kemarin. Langkah tersebut merupakan kelanjutan dari peristiwa ramainya deposan menarik uang mereka di tengah kekhawatiran atas kesehatan keuangan bank.

Penutupan tersebut diikuti pengumuman dari Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), lembaga seperti LPS di Indonesia, yang menyatakan bahwa FDIC telah mengambil kendali atas simpanan pemberi pinjaman dan mentransfer aset ke entitas yang baru dibuat, Deposit Insurance Bank of Santa Clara.

FDIC mengatakan kantor SVB akan dibuka kembali pada hari Senin ini sehingga nasabah yang dananya diasuransikan dapat menarik simpanan. Namun, ternyata ada 89% simpanan bank yang tidak diasuransikan. Ini berarti ada miliaran dolar sekarang yang tidak dapat diambil oleh nasabah.

Regulotor meminta Manajemen SVB melakukan langkah bail in yaitu meminta pemilik SVB mencari modal dari bank lain untuk bergabung dengan SVB untuk mengamankan simpanan masyarakat tanpa jaminan tersebut.

Sebelum ditutup pada Jumat 10/3, selama 1 pekan sebelumnya SVB mengumumkan bahwa mereka telah kehilangan $1,8 miliar pada penjualan aset yang dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan modal untuk mengimbangi arus keluar deposito, dan berencana untuk menjual sekitar $2,25 miliar saham baru.

Pengumuman itu telah memicu lebih banyak penarikan dari nasabah. Akibatnya, saham bank anjlok 60% pada hari Kamis, dan 60% lainnya dalam perdagangan premarket pada hari Jumat.

FDIC terpaksa campur tangan dan menghentikan penjualan karena para deposan menarik uang mereka dengan terburu-buru sehingga kebangkrutan bank menjadi tidak terhindarkan.

SVB merupakan Bank yang fokus kepada pembiayaan perusahaan teknologi dan start-up. Bank ini memiliki aset sekitar $209 miliar dan deposito $175,4 miliar dan dinyatakan sebagai bank peringkat ke-16 sebagai pemberi pinjaman AS terbesar pada 2022 lalu.

SVB dikabarkan mengalami tekanan hebat karena kekhawatiran resesi, suku bunga yang lebih tinggi, dan perlambatan pasar untuk penawaran umum perdana. Faktor-faktor ini mempersulit start-up untuk mengumpulkan uang tambahan dan membuat nasabah menarik simpanan mereka di SVB.

FDIC mengatakan kantor SVB akan dibuka kembali pada hari Senin sehingga deposan yang diasuransikan dapat menarik simpanan. Namun, menurut regulator, 89% simpanan bank tidak diasuransikan, yang berarti miliaran dolar sekarang mungkin terdampar. Menurut sumber Reuters, agensi saat ini sedang mencari bank lain untuk bergabung dengan SVB untuk mengamankan simpanan tanpa jaminan.

Runtuhnya Bank yang berfokus pada teknologi dan start up menjadi bahan pembicaraan di media sosial. Angel Investor seperi SVB kemarin dipuji karena peranannya dalam mengembangkan perusahaan startup teknologi di AS dan Dunia. Namun pekan ini pujian tersebut runtuh dan masa depan teknologi start up mengalami nasib diujung tanduk.

Kegagalan SVB dianggap sebagai keruntuhan terbesar dalam sistem perbankan AS melalui kanal Mutual Fund. Pembiayaan mengunakan Mutual Fund banyak digunakan untuk pengembangan start up namun kini Mutual Fund diprediksi menjadi sumber krisis baru di sektor keuangan sejak krisis keuangan 2008 lalu.

Runtuhnya SVB telah mengirimkan gelombang tsunami melalui pasar saham Eropa dan Asia, yang anjlok pada hari Jumat karena investor mulai melepas saham bank AS karena masalah likuiditas tersebut.

Kritik Cara Penanganan Bank Gagal SVB

Banyak analis keuangan berpendapat bahwa cara otoritas keuangan AS dalam menyelamatkan bank gagal SVB dinilai tidak tepat. Otoritas keuangan sengaja membiarkan SVB runtuh karena otoritas tidak melakukan Bail Out dan tidak memberikan jaminan kepada dana nasabah yang tidak terasuransikan.

Cara penanganan bank gagal SVB oleh otoritas keuangan AS seperti itu akan menyebabkan dampak buruk yang lebih besar baik di AS maupun di Dunia. Ada konsekuensi mengerikan yang akan dihadapi sektor perbankan setelah ledakan Silicon Valley Bank (SVB). Dampak sistemik akan bermunculan seperti krisis ekonomi yang lebih luas di AS dan Di Dunia.

Cara penanganan bank gagal terhadap SVB termasuk tidak lazim di AS. Otoritas keuangan AS biasanya rutin melakukan bail out terhadap bank gagal seperti yang diakukan pada krisis keuangan 2008 lalu. Mereka menerapkan the lender of last resort dimana regulator kerap melakukan bail out dan menjamin semua uang nasabah yang ditempatkan pada bank gagal bayar tersebut.

Di Indonesia, kita mengenal Bank Century yang dibail out oleh otoritas keuangan Indonesia dan akhirnya diselamatkan menjadi bank entitas baru bernama J Trust Bank.

Apa yang terjadi pada SVB yang dibiarkan runtuh adalah satu sinyal bahwa permainan penyelamatan bank sudah berubah. Dulu dikenal istilah penyelamatan menggunakan konsep bail out, namun kini penyelamatan menggunakan konsep bail in dimana pemilik bank yang harus bertanggungjawab dalam menyelamatkan bank sendiri. Tidak ada lagi uang publik untuk menyelematkan para pemilik bank.

Perubahan tersebut dampak dari tekanan publik dan para tax payers yang tidak terima pajaknya digunakan untuk mengkompensasi kesalahan para oligarki perbankan seperti sebelumnya. Pelajaran dari krisis keuangan 2008 lalu.

Sumber: bukamatanews.id