“Arahan Presiden melarang menteri dan kepala lembaga menggelar buka puasa bersama dalam surat Seskab berujung tanggapan. Alasan transisi menuju endemi pun dipertanyakan. Namun, alasan lainnya adalah kemewahan pejabat”
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meminta semua menteri dan kepala lembaga untuk tidak mengadakan buka puasa bersama sepanjang bulan Ramadhan tahun ini. Alasan kehati-hatian di masa transisi menuju endemi pun dipertanyakan. Namun, arahan Presiden tersebut dikeluarkan dengan latar belakang, selain perlunya menjaga kewaspadaan meskipun pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat sudah dicabut, juga banyaknya sorotan masyarakat terhadap gaya hidup pejabat dan aparatur sipil negara.
Bukan hanya kepada para pejabat pembantu Presiden, surat itu juga meminta Menteri Dalam Negeri menindaklanjuti arahan Presiden ini kepada gubernur, bupati, dan wali kota. Alasannya, seperti tertulis dalam surat, penanganan Covid-19 masih dalam masa transisi dari pandemi menuju endemi. Karena itu, diperlukan kehati-hatian.
Pramono Anung saat dikonfirmasi melalui pesan pendek, Kamis (23/3/2023) dini hari, membenarkan adanya surat dan arahan Presiden tersebut.
Secara terpisah, Deputi Bidang Protokol Pers dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin mengatakan, arahan Presiden Jokowi cukup disampaikan melalui surat edaran. Instansi pemerintah dan para pejabatnya dinilai sudah cukup dewasa untuk menaati arahan Presiden.
“Arahan Presiden Jokowi cukup disampaikan melalui surat edaran. Instansi pemerintah dan para pejabatnya dinilai sudah cukup dewasa untuk menaati arahan Presiden”
Narasi tak komprehensif
Saat dimintai tanggapan, ekonom dan pakar kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, menilai, larangan bagi aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai negeri sipil (PNS) menyelenggarakan acara buka puasa bersama pada Ramadhan tahun 2023 tidak dibangun dengan narasi publik yang komprehensif.
Kedua, Hidayat menuturkan, ASN dan PNS dilarang berkumpul bersama pada Ramadhan, tetapi ribuan perangkat desa hadir di Gelora Bung Karno (GBK) dan diizinkan menggunakan fasilitas negara itu pada minggu lalu. Juga pertunjukan-pertunjukan musik yang digelar besar-besaran belakangan ini.
Ketiga, tujuan larangan buka bersama untuk meminimalkan potensi penularan Covid-19, tetapi kunjungan Presiden ke berbagai pelosok yang melibatkan ASN dan pejabat terus terjadi. ”Melihat tiga keanehan tersebut, jelas ini sebuah inkonsistensi pemerintah yang membuat publik bertanya kenapa seolah-olah pemerintah menerapkan double standard,” ujar Hidayat.
“Melihat tiga keanehan tersebut, jelas ini sebuah inkonsistensi pemerintah yang membuat publik bertanya kenapa seolah-olah pemerintah menerapkan double standard”
Menurut Hidayat, alasan pemerintah meminta pejabat atau pegawai pemerintah meniadakan buka bersama juga tidak konsisten dengan pelonggaran kebijakan Covid-19 sepanjang tahun 2023. Alasan tersebut juga tidak konsisten dengan narasi pemulihan ekonomi tahun 2023.
Hidayat menambahkan, apabila ada data penyebaran Covid-19 meningkat tajam, seharusnya pemerintah membukanya dengan transparan. ”Namun, apabila tidak (ada) data yang mendukung, sebaiknya larangan tersebut dicabut karena membatasi warga negara, khususnya ASN, untuk saling dekat dengan rakyat dan juga tidak mendukung narasi pemulihan ekonomi,” katanya.
Epidemiolog dan peneliti keamanan kesehatan Griffith University, Dicky Budiman, juga menilai kehati-hatian diperlukan kendati sesungguhnya situasi terkait pandemi Covid-19 saat ini cenderung lebih aman dan lebih terkendali. Arahan Presiden Jokowi agar pelaksanaan kegiatan buka puasa bersama di bulan Ramadhan bagi aparatur sipil negara ditiadakan bisa saja penting, tetapi urgensinya sudah jauh sangat berkurang.
Dalam konteks ideal: penting dan perlu jika bicara konteks pembatasan. Tapi apa urgensinya, kepentingannya sangat-sangat sudah berkurang. Bukan tidak ada sama sekali, jauh lebih berkurang karena imunitas yang ada di masyarakat, baik dari vaksinasi maupun hybrid immunity, jauh lebih baik,” kata Dicky ketika dihubungi.
”Jumlah ini sangat signifikan dalam konteks turut menjaga masa transisi dari pandemi dalam proses yang smooth (mulus), dalam proses yang tidak ada gejolak. Tidak menimbulkan risiko-risiko lahirnya sebaran baru, kluster baru,” tambahnya.
“Jumlah ini sangat signifikan dalam konteks turut menjaga masa transisi dari pandemi dalam proses yang smooth (mulus), dalam proses yang tidak ada gejolak. Tidak menimbulkan risiko-risiko lahirnya sebaran baru, kluster baru”
Wapres mengimbau agar masyarakat yang sakit tetap harus memakai masker. ”Sebenarnya pembatasan sudah tidak ada, tetapi yang harus memakai masker yang sakit sehingga tidak menular. Tetapi, karena dikhawatirkan masih belum patuh, nah lebih baik kita menjaga diri saja bersiap-siap tidak ada batasan saya kira, tapi ya hati-hati,” tambahnya.
Untuk internal pemerintah
Pramono Anung, Kamis sore, menjelaskan mengenai edaran tersebut. ”Pertama, arahan ini ditujukan kepada internal pemerintah, khususnya para menko, menteri, dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian. Bukan untuk masyarakat umum,” katanya melalui rekaman.
Untuk itu Presiden meminta agar jajaran pemerintah menyambut bulan puasa tahun ini dengan semangat kesederhanaan, tidak berlebihan, sehingga tidak perlu ada buka puasa bersama bagi jajaran pemerintah,” ujarnya.
Sumber: kompas.id