Kamis, 2 Februari 2023
AYOSEMARANG.COM — Perdebatan tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) dari enam menjadi sembilan tahun menuai banyak kecaman.
Alasan penolakan kebijakan perpanjangan masa jabatan kades ini adalah rentannya pemerintahan desa terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kritik perpanjangan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun datang dari Achmad Nur Hidayat, ekonom yang juga pakar kebijakan publik.
Achmad mengatakan, salah satu alasan kepala desa meminta perpanjangan masa jabatan adalah untuk memaksimalkan pembangunan desa.
Tapi Achmad mencium ada kejanggalan di sini. Achmad mengaitkan persoalan itu dengan perpanjangan masa jabatan presiden yang berkali-kali disuarakan di masa kepemimpinan Jokowi di Indonesia.
“Masyarakat dibuat keningnya mengerut. Pengamat mencium ada sesuatu yang tidak beres. Karena ketika jabatan kepala desa melebihi jabatan presiden, kepala daerah, bahkan anggota DPR, itu menjadi sebuah paradoks,” ujar Achmad, seperti dikutip dari Suara.com, Kamis 2 Februari 2023.
Kejanggalan lainnya, menurut Achmad, persoalan perpanjangan masa jabatan yang dikaitkan dengan polarisasi yang terjadi di masyarakat.
“Alasan polarisasi justru sebaliknya. Ketika ditanggapi dengan perpanjangan masa jabatan presiden karena kepala desa menjadi lebih dominan dan bisa terjebak dalam otoritarian skala mikro, yang dalam hal ini justru memperuncing polarisasi,” ujar Achmad.
Menurutnnya, sebaiknya pemilih kepala desa atau rakyat yang meminta perpanjangan masa jabatan jika mereka menginginkan hal itu.
Namun faktanya, malah para kades yang berkuasa yang menyuarakan aspirasi perpanjangan masa jabatan, yang dinilai Achmad sudah keluar dari jalur demokrasi.
Ia melanjutkan, jika keinginan kepala desa diterima, mereka bisa mengusulkan perpanjangan masa jabatan kepala daerah lain atau bahkan presiden, yang juga akan disepakati.
ICW menilai usulan ini tidak hanya bernuansa politis dengan barter dukungan pada Pemilu 2024, tetapi sama sekali tidak terkait dengan urgensi kebutuhan perbaikan desa.
Di sisi lain, akomodasi atas usulan tersebut juga akan menyuburkan sistem oligarki di desa dan politisasi desa.
Dalam keterangan resminya, ICW mencatat bahwa desa-desa terus dirundung banyak masalah hingga saat ini, mulai dari pengelolaan keuangan yang masih eksklusif, partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat hingga korupsi.
Akibatnya, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa tidak optimal.
Oleh karena itu, para pembuat kebijakan, baik eksekutif maupun legislatif, harus fokus pada musyawarah untuk memperbaiki peraturan dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk mengurangi kemungkinan terjadinya korupsi.
Menurut ICW, sebaiknya usulan perpanjangan masa jabatan kades ini tidak perlu direspons karena hanya akan memperburuk masalah di desa.
Tren penindakan korupsi setiap tahun, ICW mengungkap menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait dengan desa.
Korupsi tingkat desa secara konsisten menempati urutan pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi aparat penegak hukum pada 2015-2021.
Selama tujuh tahun itu, terungkap 592 kasus korupsi di tingkat desa, sehingga total kerugian negara mencapai Rp433,8 miliar.
Sumber: ayosemarang.com