Kamis, 9 Februari 2023 

JAKARTA, suaramerdeka-jakarta.com – Pemerintah diingatkan untuk segera meninggalkan penggunaan sistem atau paham ekonomi liberal. Khususnya dalam pengelolaan perekonomian nasional saat ini.

“Sebab, di tengah ketidakpastian situasi global saat ini, paham liberalisasi ekonomi bisa menjadi bom waktu,” kata Ketua Bidang Kebijakan Publik Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Achmad Nur Hidayat, kemarin.

Hal itu disampaikannya dalam Gelora Talks bertajuk Liberalisasi Ekonomi Nasional, Bagaimana Nasib Kita? Menurutnya, ekonomi liberal juga berbahaya bagi perekonomian Indonesia yang terlalu terbuka.

“Gelora berharap agar pemerintah segera kembali kepada ekonomi Pancasila. Yakni memperkuat kemandirian serta memproteksi ekonominya agar tidak masuk jurang resesi pada 2023,” ujarnya.

Menurutnya aneh, karena negara penggagas ekonomi liberal saja memproteksi ekonominya agar tidak kena resesi. Tetapi, Indonesia justru membuka selebar-lebarnya terhadap liberalisasi ekonomi.

“Ini tentu saja menjadi paradoks. Liberalisasi ekonomi sudah terbukti gagal dan tidak mampu bertahan di tengah krisis global saat ini,” tandasnya.

Karpet Merah
Karena itu, dia meminta pemerintah tidak lagi memberikan karpet merah pada liberalisasi ekonomi. Yang mana hanya memperkaya oligarki.

“Sekarang banyak negara ingin membangun kemandirian ekonominya. Mereka sadar bahwa konsep liberalisasi ekonomi sudah gagal,” tegasnya.

Dimana situasi global saat ini mengharuskan mereka memproteksi ekonominya. Sebab, liberalisasi ekonomi tidak hanya membawa modal dan teknologi saja.

“Akan tetapi juga tenaga kerjanya. Sehingga liberalisasi ekonomi tidak jarang mengancam pekerjaan masyarakat Indonesia,” ungkapnya.

Dia menilai, kericuhan yang terjadi antara tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing di Sulawesi dua minggu lalu, adalah dampak dari liberalisasi saat ini. Dimana liberalisasi ekonomi mengancam pekerjaan dari masyarakat Indonesia.

“Konsep ekonomi Pancasila yang dimiliki Indonesia sebenarnya lebih bagus, dibandingkan konsep ekonomi liberal. Karena, konsep ekonomi Pancasila pada dasarnya adalah kemandirian,” tuturnya.

Rentan
Sementara itu, ekonom senior Rizal Ramli mengingatkan bahwa paham liberalisme ekonomi nasional hanya menjadikan Indonesia rentan diterpa krisis global. Karenanya, dia meminta untuk memperkokoh kemandirian ekonomi bangsa.

“Saya menyayangkan para menteri ekonomi saat ini lebih pro terhadap liberalisasi ekonomi. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang ditempuh dalam dua periode hingga sekarang,” ucapnya.

Padahal, pemerintah seharusnya pro terhadap kemandirian, kedaulatan di berbagai bidang ekonomi. Oleh karena itu dia berharap Gelora memilih pro kedaulatan ekonomi, bukan kapitalis.

“Saya harap tidak pro liberalisasi masa sekarang. Dalam konstitusi tidak menyatakan secara eksplisit pro terhadap liberalisasi ekonomi,” imbuhnya.

Walau para pendahulu bangsa banyak yang belajar dari Barat, tetapi tidak memilih paham liberal. Sebab, liberalisasi ini, bisa mengalami kehancuran ketika terjadi depresi dan keterpurukan melanda negara barat tersebut.

“Liberalisasi ekonomi menjadi sangat spekulatif dan mereka tolak model seperti itu. Para pendiri bangsa telah meletakkan dasar ekonomi berada diantara penganut liberalisme dan komunisme,” jelasnya.

Jalan Tengah
Yakni sebagai jalan tengah yang termaktub dalam UUD 1945 adalah ekonomi dalam bingkai kesejahteraan rakyat. Dimana desain negara adalah kesejahteraan.

“Negara kesejahteraan pada prinsipnya kekayaan alam dimiliki rakyat dan dikuasai negara. Sebagai pelaksana, bisa diserahkan ke swasta dan tidak memilikinya,” jelasnya.

Pada era 70-80, silam 85 persen laba Sumber Daya Alam (SDA) minyak disetor ke pemerintah. Dan asing dikasih 15 persen saja sudah sangat senang.

“Sehingga rakyat jelas mendapat manfaat langsung dari SDA tersebut. Namun, sekarang yang terjadi adalah SDA telah dikuasai swasta,” sesalnya.

Sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan atau pribadi. Sementara, rakyat tidak lagi mendapatkan manfaatnya.

Moneterianisme
Adapun pengamat ekonomi dan perbankan Yanuar Rizki menambahkan, kebijakan keuangan Indonesia saat ini menuju ke kiblat moneterianisme. Yakni individualisme, liberalisme dan materialisme.

“Propagandanya begitu gencar. Sementara dari sisi peredaran mata uang rupiah sendiri, terlihat nyata. Dimana pergerakan uang oleh masyarakat relatif kecil,” terangnya.

Sebaliknya, peredaran korporasi melonjak. Dikatakan, sulit menjadi mandiri kalau rupiah sendiri juga dikendalikan oleh asing.

“Nah bagaimana kalau SUN ini diganggu juga melalui nilai tukar rupiah. Siapa ini yang kuat menahannya? Kalau dihajar oligarki, bakal keok juga,” tukasnya.

Sumber: suaramerdeka.com