Kamis, 09/02/2023

Menarik menyimak komentar para Anggota Komisi VII DPR-RI disela-sela rapat dengar pendapat Holding BUMN industri pertambangan Mind ID belum lama ini. Para anggota menyampaikan ketidakyakinannya atas program hilirisasi nikel dan mineral lainnya

Dalam narasi hilirisasi lalu, Presiden Jokowi dikesankan sangat gagah dan sangat heroik bahwa kebijakan pemerintah terkait hilirisasi akan menjadi suatu lompatan besar dalam sejarah peradaban negara Indonesia. Namun sayangnya detail road map hilirisasi tersebut tidak pernah disampaikan kepada publik.

Malah, publik memperoleh informasi bahwa hilirisasi yang sedang dikembangkan saat ini adalah proyek joint venture dengan investor asing terutama dengan China dimana pekan lalu terjadi kerusuhan berdarah di PT GNI Morowali tempat hilirisasi nikel yang dibanggakan pemerintah.

Dalam narasi heroik tersebut Presiden Jokowi tidak terima selama puluhan tahun kekayaan alam Indonesia, hanya disedot pihak asing tanpa memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia. Untuk itu dirinya melakukan hilirisasi ini meski sejumlah negara lain menentang.

Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana Uni Eropa menggugat terhadap larangan ekspor bijih nikel di WTO. Meski kalah dalam sidang WTO tersebut tapi Jokowi memutuskan untuk tidak mundur karena langkah ini adalah lompatan besar peradaban negara.

Yang menjadi persoalan adalah sejauh mana kemandirian Indonesia sendiri untuk menjalankan program hilirisasi tersebut. Bila secara finansial dan teknologi Indonesia tergantung sama investor lain, maka hilirisasi pemerintah tersebut akan menjadi bom waktu yang akhirnya hanya menghisap sumber daya alam Indonesia tanpa menciptakan kesejahteraan.

Publik bisa melihat bagaimana cengkeraman China dalam partisipasi pendanaan dan teknologi di negara lain seperti Sri Lanka dan Afrika, dimana kedua negara malah terjebak pada utang yang berujung pada dikuasai aset strategis oleh China dan berujung pada kebangkrutan ekonomi. Meski demikian kesalahan sepenuhnya bukan ada pada investor melainkan pada salah pengelolaan investasi tersebut.

Indonesia harus belajar jangan sampai hilirisasi nikel membuat Indonesia mengalami kerugian ekologi yang berjangka panjang dan kesenjangan sosial yang massal di sekitar lokasi hilirisasi. Indonesia pernah punya kesalahan dalam hilirisasi saat menerima investasi Freeport di Papua, dimana kerusakan ekologi semakin parah namun masyarakat Papua dan kondisi fiskal Indonesia tidak membaik malah makin memburuk.

Jika kemandirian hilirisasi diabaikan maka program-program hilirisasi hanya akan menguntungkan investor asing di masa depan dan itu artinya Indonesia terjajah dua kali dimana kekayaan dikeruk bukan untuk kepentingan nasional Indonesia.

Solusi Hilirisasi SDA

Harus ada langkah-langkah konkret yang terukur untuk menjaga kemandirian hilirisasi diantaranya adalah memperkuat BUMN dalam berani berinvestasi teknologi dan keuangan dari pendanaan dalam negeri daripada mengundang asing. Dengan begitu hilirisasinya benar-benar dapat dikelola sepenuhnya oleh negara/BUMN sehingga dapat mensejahterakan rakyatnya secara masif.

Kontrak kerjasama investasi dalam hilirisasi perlu dievaluasi. Hal ini disebabkan kontrak kerjasama dengan asing yang terlalu panjang dapat menyebabjab SDA Indonesia dikeruk secara besar-besaran, dan akhirnya merugikan Indonesia sendiri di masa yang akan datang.

Apalagi dengan berbagai kebijakan saat ini yang tidak menguntungkan pendapatan negara seperti tax holiday dan free royalti dalam kurun waktu yang sangat panjang. Tentunya Indonesia kehilangan potensial income dimasa depan atau dengan kata lain hanya kebagian sisanya saja.

Masalah berikutnya adalah transparansi transfer knowledge dan teknologi. Narasi keberadaan perusahaan-perusahaan asing diperlukan karena adanya dalih transfer knowledge dan teknologi, namun dalam kurun 7  tahun terakhir dimana Indonesia sudah membuka diri terhadap investasi asing besar-besaran, transfer knowledge dan teknologi hanyalah omong kosong saja.

Bila transfer knowledge dan teknologi benar maka kenapa Indonesia masih menerima tenaga kerja asing untuk industri-industri dalam negeri. Nyatanya, Kementrian Tenaga Kerja melaporkan bahwa tenaga kerja indonesia masih tergolong low skill labor daripada high skill labor.

Jika polanya seperti ini yang terjadi maka hilirisasi yang diharapkan bisa menjadi lompatan ekonomi yang besar hanya akan menjadi mimpi Presiden Jokowi yang tidak pernah akan terwujud.

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Kepala Studi Ekonomi Politik FEB UPN Veteran Jakarta