23 Januari 2023
Upah pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia masih jauh dari standar upah minimum.
Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini menyebutkan, upah rata-rata PRT di DKI Jakarta sekitar Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta. Sementara untuk Semarang, DI Yogyakarta, Makassar, Surabaya dan Medan sebesar Rp 800 ribu-Rp 1 juta.
“Upah PRT masih rata-rata tertinggi Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta dan itu di Jabodetabek [tepatnya] Jakarta, karena masih ada yg Rp 800 ribu-Rp 900 ribu full time. Jadi hak PRT masih rata-rata 20-30 persen dari UMR,” ujar Lita saat dihubungi kumparan, Senin (23/1).
Ia melihat sangat jarang upah PRT berada di atas Rp 1,5 juta. Meski begitu, ia memberi pengecualian terhadap PRT yang bekerja di rumah ekspatriat, karena mampu menghasilkan upah hingga Rp 2,5 juta
“Ekspatriat sendiri ada Korea, Jepang, Asia itu upahnya masih rata Rp 2 juta, full time Rp 2,5 juta,” katanya.
Menurut Lita, upah PRT yang rendah diikuti dengan tidak adanya jaminan sosial baik kesehatan maupun ketenagakerjaan. Ia tidak menampik upah PRT di Filipina juga masih relatif lebih rendah ketimbang Indonesia. Namun, mereka diikutsertakan oleh program perlindungan sosial, seperti jaminan sosial dan bantuan sosial.
Selain itu, Filipina juga memiliki undang-undang yang mengatur upah PRT berdasarkan peringkat ibu kota negara, provinsi hingga kabupaten. Lita menyebutkan upah PRT di Manila sebesar Rp 1,5 juta, sedangkan di Quezon City Rp 800 ribu-Rp 1 juta.
PRT dinilai telah menjadi soko guru perekonomian Indonesia. Apabila tidak ada PRT, produktivitas nasional tidak dapat berjalan dengan baik.
“Dari presiden sampai ini tidak bisa mencuci bajunya sendiri kan. Para anggota DPR juga tidak bisa beraktivitas mencuci baju sendiri,” ungkap dia.
“Berarti kan bagaimana mereka melihat PRT masih sebelah mata, dekat di mata jauh dari hati dan pikir,” tambah Lita.
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengatakan upah PRT seharusnya berdasarkan kesepakatan pekerja dan pengguna. Sedangkan upah minimum untuk PRT sebaiknya tidak dijadikan paksaan bagi para pengguna.
“RUU PPRT harus memiliki lex specialis yang berbeda dengan UU ketenagakerjaan lainnya,” tegas Achmad.
Sebab, UMP PRT seharusnya hanya sebagai anjuran, karena banyak PRT yang mungkin secara nominal kecil di bawah rata-rata. Namun, sang PRT mendapatkan fasilitas lebih baik yang tidak dapat dinominalkan.
“Perbedaan karakter PRT tersebut, RUU hendaknya cukup fokus kepada perlindungan HAM PRT dan perlindungan mereka dari tindak kekerasan, diskriminasi, pelecehan dan eksploitasi,” pungkasnya
Sumber: kumparan.com