Senin, 30/01/2023

Ada kejanggalan dalam rencana kenaikan ongkos haji 2023. Ongkos haji diusulkan oleh Kemenag naik 74% tahun ini dari Rp39,8 juta tahun lalu menjadi Rp69,1 juta. Kenaikan tersebut tidak masuk akal disaat publik sedang berat-beratnya diuji oleh living cost yang semakin naik dan ancaman kehilangan pekerjaan serta resesi ekonomi 2023. Seolah-olah pejabat yang mengurus haji tidak memahami beratnya penderitaan umat sampai-sampai kami menulis kenapa untuk ibadah dipersulit namun untuk investor asing dipermudah?

Ada Tujuh kekacauan dalam narasi kenaikan ongkos haji oleh Kemenag dan BPKH tahun 2023 ini, sebagai berikut:

Pertama, selama ini, Jamaah Haji Indonesia tidak mengalami kenaikan signifikan sejak 2014. Rerata kenaikan ongkos haji hanya 0,83% dalam kurun 2014-2019. Kenaikan sejak Menag dipimpin Yaqut menyebabkan rerata kenaikan menjadi melompat tinggi yaitu 43,35%. Yang terbesar adalah tahun 2023 ini lebih dari 73%. Ini menimbulkan pertanyaan apakah Menag berpihak pada umat jika kemampuannya cuma menaikan ongkos haji tiap tahun.

Kedua, BPKH sebagai Badan pengelola keuangan haji ternyata tidak bekerja dengan baik.

Bila badan pengelola keuangan haji bekerja dengan baik, seharusnya Jamaah haji yang sudah menabung Rp25 juta untuk pendaftaran haji dalam kurun 20 tahun mendapatkan nilai manfaat sehingga setoran Rp25 juta tersebut menjadi Rp168,2 juta (dengan asumsi rate of return investment 10% per tahun).

Dengan dana Rp168,2 juta tersebut jamaah haji tidak perlu menambah setoran lagi bahkan setoran awal tersebut bisa membantu jamaah lain untuk diberangkatkan. Keep in mind total Biaya penyelenggaraan haji 2023 dihitung oleh Menag sebesar Rp98,8 juta.

Ketiga, Dana kelolaan haji tiap tahun bertambah, kini pada akhir tahun 2022 tercatat dana kelolaan haji sekitar Rp167 Triliun. Dilaporkan BPKH nilai manfaat dari dana kelolaan tersebut  di tahun 2021 hanya Rp9 triliun.

Ini artinya rate of return investment BPKH rendah sekali yaitu hanya 5,4%. Ini yang menyebabkan pada 2027 nanti nilai manfaat akan habis dan akhirnya dapat menggerus dana tabungan haji. Rendahnya imbal hasil investasi oleh BPKH disebabkan salah pengelolaan tabungan haji.

BPKH agak malas dengan menempatkan 70% dari Rp167 triliun atau sekitar Rp116,9 triliun di SBSN. SBSN adalah surat berharga syariah nasional yang diterbitkan Menkeu untuk membiayai APBN termasuk proyek infrastruktur dengan imbal hasil 5,95% bersifat fixed (tetap) per tahun.

Selain SBSN, BPKH juga menempatkan pada Sukuk Dana Haji Indonesia, produk layanan perbankan syariah dan penempatan investasi langsung yang returnnya sebenarnya cukup tinggi. Namun karena jumlahnya kecil 30% dari dana kelolaan maka tidak dapat mentopup nilai manfaat untuk ibadah haji.

Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas BPKH menikmati gaji tinggi sekitar Rp100-Rp150 juta per bulan per orang, namun dengan nilai manfaat bagi jamaah haji yang kecil sekali.

Tabungan haji lebih banyak digunakan untuk menggaji BP BPKH daripada untuk melayani jamaah. Badan Pelaksana BPKH bergaji tinggi namun kemampuannya dalam pengelolaan dana haji diinvestasikan di SBSN yang returnnya rendah. Amat memalukan.

Memang benar, bahwa pengelolaan dana haji diatur UU harus berprinsip syariah, berhati-hati dan konvensional. Namun juga harus mengedepankan kemanfaaat yang sebesar-besarnya untuk jamaah haji. BPKH seolah-olah tersandera oleh Kementerian Keuangan dimana investasi mereka mayoritas hanya di SBSN saja dengan rate 5,5%.

Padahal bila BPKH berfungsi optimal maka rate of return dana pengelolaan haji dapat 15%. Dengan setoran awal jamaah Rp25 juta, maka dengan waktu tunggu asumsi 20 tahun maka dana setoran awal tersebut dapat menjadi Rp409,1 juta di akhir tahun ke-20. (lihat data simulasi).    

Sumber: Simulasi menggunakan simulasi perbankan syariah nasional yang tersedia dengan investasi awal Rp25 juta yang disimpan dalam kurun 240 bulan atau 20 tahun. Jumlah tersebut tentunya akan menyenangkan hati jamaah dan dapat membantu kelancaran ibadah haji karena jamaah tidak perlu membayar lagi ongkos hajinya.

Keempat, Dana kelolaan Haji terus naik. Terakhir tercatat 167 triliun. Namun Rasio NM/DK kecil sekali hanya 5,5%-6% di tahun 2021. ini menunjukan BPKH tidak mengelola dengan baik, tidak memahami bagaimana optimalisasi keuangan syariah dengan baik.

Kelima, Nilai manfaat yang diberikan sekitar 8-9 triliun di 2021. Meski ada kenaikan 3 tahun terakhir 2019 (Rp7,3 T) namun kenaikan kecil sekali tidak pantas disebut badan pengelola keuangan haji jika hanya menempatkan dana kelolaan haji di SBSN saja.

Keenam, Investasi BPKH tidak kreatif. Dana kelolaan Rp167 triliun mayoritas ke Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) atau SBSN yang ternyata returnnya kecil. SBSN digunakan tidak memiliki return yang tinggi. SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek.

Ketujuh, Proyek kemaslahatan umat pun perlu dievaluasi disaat sudah menjamur sekolah edukasi-edukasi islam seperti pembangunan embarkasi diberbagai daerah, gedung manasik, madrasah dan rehabilitasi PTKIN. Sementara Biaya operasional BPKH tergolong besar meski ada sedikit penurunan. Biaya operasional dibagi nilai manfaat sebesar 2,02% (2020) meski pernah 7,06% di tahun 2016.

Pejabat Kemenag berkali-kali membantah bahwa dana haji tidak digunakan untuk proyek infrastruktur ternyata pejabat tersebut salah besar. Melihat laporan keuangan BPKH di semester pertama 2022, jelas disebutkan bahwa dana kelolaan haji sebesar Rp167 triliun digunakan 70% untuk membeli SBSN Pemerintah.

SBSN tersebut digunakan kementerian keuangan untuk membiayai APBN. Salah satu belanja APBN adalah membiayai infrastruktur seperti pemberian PMN modal negara dalam kereta api cepat jakarta-bandung konsorsium China, pembangunan infra dasar IKN dan lain-lain yang tidak dapat dipisahkan per komponennya.

Bila ada narasi bahwa pemerintah memberikan subsidi haji maka itu keliru besar. Dana kelolaan haji malah yang memberikan subsidi kepada pemerintah untuk membiayai belanja APBN melalui penggunaan dana kelolaan haji Rp167 triliun untuk 70 persennya membeli SBSN.

Pemerintah tidak memberikan subsidi kepada jamaah haji seperti halnya memberikan subsidi BBM dan TDL. Yang ada Pemerintah membayar imbal hasil dari dana kelolaan haji dengan rate 5,5% yang sebenarnya sangat kecil dibandingkan investasi diluar SBSN sebesar 10%-15%.

Ada sejumlah langkah untuk menghindari kenaikan ongkos haji di masa depan diantaranya adalah:

BPKH Harus Berbenah

Akar masalah kenapa ongkos haji terus naik karena kegagalan BPKH mengembalikan rate of return investment dana kelolaan haji yang optimal. BPKH hanya mampu memberikan nilai manfaat sebesar 5,5% dari dana kelolaan haji. Padahal optimal nilai manfat kelolaan dana haji adalah 10%. Adalah tidak wajar bila kegagalan BPKH memberikan rate of return optimal namun jamaah haji 5,3 juta orang yang harus memikulnya.

Konsekuensi dari rendahnya kinerja BPKH ini adalah nilai manfaat haji 2023 dan seterusnya akhirnya harus dikurangi dari sebelumnya 60% BPIH di 2022 kini menjadi 30% saja di tahun 2023.

Perubahan PP No. 34 tahun 2014

Dalam PP 34/2014 pasal 30 dan pasal 31 tentang pengelolaan keuangan haji disebutkan investasi dana kelolaan haji dibatasi maksimal 20 persen untuk investasi langsung dan 10 persen untuk investasi lainnya. Padahal jenis investasi langsung dan investasi lainnya tersebut dapat memberikan nilai manfaat yang paling besar bagi jamaah haji.

Penempatan dana haji ke SBSN atau Sukuk Pemerintah terlalu besar dan tidak memberikan nilai manfaat yang optimal untuk kebutuhan haji. Dana haji seolah menjadi ‘sapi perah’ membiayai APBN namun tidak dipikirkan keberlanjutan untuk keberangkatan jamaah haji sendiri. Sungguh sangat kejam!

Dengan semakin tingginya antusiasme publik pergi haji maka seharusnya pengelolaan dana haji dikelola swasta daripada oleh BPKH dan Lembaga negara lainnya. Pengelolaan swasta akan dapat profesional memberikan nilai manfaat yang lebih tinggi daripada BPKH yang sudah 8 tahun mengelola dana haji 2014-2023 namun ternyata jamaah haji menderita karena harus membiayai kenaikan haji tiap tahun.

Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Sumber: neraca.co.id