Senin, 16/01/2023
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom Narasi Institute
Kondisi ekonomi berangsur memburuk seiring resesi yang semakin pekat. Dampaknya pun semakin dirasakan masyarakat. Badai PHK sudah mulai terjadi akibat demand atas produk buatan Indonesia seperti tekstil, sepatu dan sejenisnya berkurang.
Dikutip dari tempo.co (2/11), Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB) Yan Mei mengungkapkan telah menerima laporan pemutusan hubungan kerja (PHK) di 14 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Sejak dua pekan lalu, karyawan yang terkena PHK mencapai 64 ribu pekerja dari 124 perusahaan.
Dikutip dari CNBC Indonesia (14/12/2022) memberitakan bahwa Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan, pemangkasan pekerja di pabrik tekstil dan produk tekstil bisa mencapai 500 ribu orang.
Dikutip dari suara.com (11/1), PT Nikomas Gemilang makin tak sanggup lagi untuk menjalankan roda bisnis perusahaan. Produsen sepatu merek terkenal dunia asal Serang, Banten ini menawarkan pengunduran diri atau resign sukarela kepada 1.600 karyawannya. Artinya perusahaan tidak mempunyai anggaran untuk bayar pesangon sehingga meminta karyawan untuk mengundurkan diri.
Resesi Ekonomi sudah diawali dengan kengerian bagi para buruh, dan ditengah mimpi buruk dampak resesi ini ditambah lagi dengan penerapan Perppu Cipta Kerja, yang membuat para buruh berada dalam kerentanan yang lebih buruk. Ancaman upah rendah, pesangon semakin kecil dibanding sebelumnya, terancam outsourcing yang tidak dibatasi dan masuknya pekerja-pekerja asing yang berpotensi semakin deras. Dapat dibayangkan bagaimana badai PHK ini akan semakin brutal menimpa para buruh.
Melihat kondisi ini harus ada langkah antisipatif yang kongkrit dari pemerintah. Strategi pemerintah dalam mengantisipasi persoalan ini harus bisa dikomunikasikan kepada masyarakat mulai dari sekarang. Adapun BSU yang pernah diterapkan tahun kemarin dengan jumlah uang senilai Rp. 600 ribu selama tiga bulan untuk pegawai dengan gaji dibawah Rp. 3,5 juta tidaklah cukup untuk menjawab persoalan ini.
Jika tidak siap maka kenaikan angka kemiskinan akan menjadi sebuah keniscayaan. Menyikapi hal ini maka pemerintah jangan sampai salah menentukan prioritas.
Jangan menunggu atau mengandalkan investasi karena masa sulit ini tiap orang akan meng-hold uangnya. Demand ekspor dari luar negeri akan menurun. Windfall ekspor batubara dan CPO yang beberapa tahun ini dinikmati maka pada masa resesi ini jangan harap akan mendapatkan hal yang sama. Seperti halnya harga batubara dunia sudah mulai jatuh yang tentunya pendapatan eksportir batubara dan CPO akan ikut jatuh.
Pertanyaan besarnya, siapkah pemerintah mempostpone proyek-proyek mercusuar dan beralih fokus kepada pemulihan ekonomi terutama penciptaan lapangan kerja untuk menghadapi gelombang PHK?
Sumber: neraca.co.id