Jum’at, 06 Januari 2023
Warta Ekonomi, Jakarta – Pakar Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat mengatakan penggunaan dana anggaran APBD hingga 1 Triliun rupiah untuk membangun Masjid Al-Jabar Bandung sudah berlebihan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dikritik karena menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat mencapai Rp 1 triliun untuk pembangunan Masjid Al-Jabbar ini.
Kritik ini berbuntut perdebatan antar netizen yang dianggap tidak menyukai masjid dan lebih menyukai isu transportasi publik di Jawa Barat yang dinilai lebih krusial.
“Jika kita melihat APBD Provinsi Jawa Barat sebesar 32,10 Triliun maka pembangunan masjid yang didanai APBD sebesar 1 Trilyun ini angka yang sangat besar sekali,” kata Achmad melalui keterangan tertulisnya, Jumat (06/01/22).
“Nilai 1 Triliun itu tentunya akan jauh lebih bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat yang total penduduknya hampir 50 juta orang itu,” kata dia.
Achmad mengatakan, memang membangun tempat ibadah memang adalah hal yang mulia. Namun tentunya ada hal-hal yang perlu diperhatikan terutama masalah berapa besar anggaran untuk pembangunan tempat ibadah tersebut dan dari mana anggaran tersebut berasal.
“Hal lain yang memicu kontroversi pada pendirian masjid Al Jabbar ini adalah arsitek dari masjid Al Jabbar ini adalah Ridwan Kamil sendiri,” kata dia.
“Dimana masjid yang dimulai pendiriannya pada tanggal 29 Desember 2019 dimana peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan wakil Gubernur Jawa Barat kala itu Deddy Mizwar,” tambahnya.
Ia juga menambahkan, perlu ditelisik lebih lanjut terkait rencana pembangunan masjid ini pada awalnya. Apakah memang anggaran yang direncanakan dari awal sebesar 1 Triliun atau bukan. Dan bagaimana skema pembiayaan pembangunan masjid tersebut.
“Karena pembangunan masjid Al Jabar tersebut menelan 1/32 APBD Provinsi Jawa Barat. Bukankah itu hal yang terlalu berlebihan untuk membangun sebuah tempat ibadah dengan anggaran negara?” tanyanya.
Sumber: wartaekonomi.co.id