Senin, 23 Januari 2023

“Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghemat biaya haji. Diantaranya, bisa dengan mempersingkat keberadaan di Mekah menjadi 15- 20 hari saja”

JAKARTA, BUKAMATA – Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengungkapkan, umat muslim mendapatkan kabar buruk lagi dari Kementrian Agama (Kemenag) yang akan menaikkan ongkos haji. Di tahun 2023 ini direncanakan ongkos haji hingga Rp69,1 juta, hampir dua kali lipat dari harga tahun 2022.

Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute ini, mengatakan, ongkos haji hampir tiap tahun mengalami kenaikan. Pada tahun 2014 sebesar Rp33,8 juta, 2015 naik menjadi Rp33,9 juta. Kemudian tahun 2016 naik menjadi Rp34,6 juta, 2017 naik menjadi Rp34,9 juta, 2018 naik jadi Rp35,2 juta, 2019 tetap di Rp35,2 juta, 2020 sampai 2021 tidak ada pemberangkatan, dan tahun 2022 naik menjadi Rp39,8 juta.

Dikutip dari CNBC Indonesia, pada Rapat Kerja bersama Komisi VIII DPR RI, Kemenag mengusulkan rerata Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 1444 H/2023 M sebesar Rp69.193.733,60. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11.

“Komposisi BPIH sebelumnya 41 persen yang dibayarkan oleh calon haji dan 59 persen dari nilai manfaat rencananya akan diubah menjadi 70 persen Bipih dan 30 persen nilai manfaat,” ungkap Achmad.

Sehingga, yang tadinya BPIH 2022 sebesar Rp98.379.021,09 dengan komposisi Bipih sebesar Rp39.886.009,00 (40,54 persen) dan nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp58.493.012,09 (59,46 persen) melalui usulan Kemenag untuk BPIH 2023, sebesar Rp98.893.909,11 akan diubah dengan komposisi Bipih sebesar Rp69.193.734,00 (70 persen) dan nilai manfaat (optimalisasi) sebesar Rp29.700.175,11 (30 persen).

“Menag menyampaikan bahwa kebijakan formulasi komponen BPIH tersebut untuk menyeimbangkan antara besaran beban jemaah dengan keberlangsungan dana nilai manfaat BPIH di masa yang akan datang,” ungkapnya.

“Menurut Menag, pembebanan Bipih harus menjaga prinsip istitha’ah dan likuiditas penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun berikutnya. Tapi justru persoalannya adalah performance BPKH jadi dipertanyakan karena esensi Ibadah harus dipermudah, bukan untuk dipersulit. Apalagi dana haji dari Saudi sendiri sudah diturunkan 30 persen,” sambung Achmad lagi.

Achmad mengatakan, hal ini membuat publik curiga ada motif lain dibalik kenaikan biaya haji ini, karena penurunan manfaat ini menjadi tidak logis. Walaupun ibadah haji itu hanya untuk yang mampu dan harus terukur, tapi negara seharusnya hadir dan menjaga kemudahan dan bisa membantu dengan pelayanan yang lebih baik agar pelaksanaan ibadah haji tersebut mudah bagi para calon haji, dan mendorong agar banyak umat muslim mempunyai kesempatan yang lebih mudah untuk dapat naik haji.

“Kenaikan Biaya Haji jangan sampai menjadikan publik yang sudah antri tahunan akhirnya gagal berangkat tahun 2023 ini. Hal ini akan menjadi tanda kegagalan pemerintah dalam pengelolaan haji,” imbuhnya.

Jika kebijakan ini membuat banyak calon haji yang gagal untuk berangkat, kata Achmad, maka pemerintah harus bertanggung jawab atas kenaikan biaya ongkos haji (Bipih) secara penuh tahun ini.

Pemerintah perlu bijak menarasikan isu kenaikan Bipih kepada publik. Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk bisa mempertahankan ongkos haji yang terjangkau, pemerintah dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) harus mencari jalan agar nilai manfaat investasi tabungan haji publik tetap 59 persen dari ongkos haji.

“Jika komposisi Bipih (41 persen) dan NM (59 persen) dipertahankan, maka ongkos haji diprediksi tetap terjangkau,” imbuhnya.

Lebih jauh Achmad mengatakan, pemerintah ingin mengubah menjadi 70:30 mencerminkan bahwa policy makers malas dan tidak kreatif dalam melakukan investasi haji fund, sehingga nilai manfaat dari dana haji terus berkurang.

Ia mengatakan, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghemat biaya haji. Diantaranya, bisa dengan mempersingkat keberadaan di Mekah menjadi 15- 20 hari saja. Berikutnya adalah investasi dana haji harusnya bisa dialokasikan ke proyek yang menguntungkan, seperti hilirisasi pertambangan ataupun hilirisasi industri sawit yang ramah lingkungan. Dengan begitu, pemerintah tidak perlu mendatangkan investasi asing yang ujungnya menggerogoti SDA yang hanya dinikmati oleh asing. Sementara sukuk nilai manfaatnya kecil.

Dengan dana haji yang jumlahnya triliunan, sambung Achmad, akan dapat mengakuisisi perusahaan minyak sawit dan komoditas lainnya yang sedang mendapatkan windfall profit. Dengan begitu, nilai manfaat untuk jamaah haji dapat lebih tinggi sehingga ongkos haji dapat ditekan. Dengan demikian, calon haji bisa berpeluang hanya membayar sekitar 25 persen dari total ONH.

“Itu contoh bila pemerintah mau kreatif, sayangnya policy makers terlalu malas untuk mempermudah ibadah, maunya hanya mempermudah investor asing saja,” pungkasnya.

Sumber: bukamatanews.id