04 Januari 2023

WE NewsWorthy, Jakarta – Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menyoroti terkait rencana perubahan tarif Commuter Line Kereta Rel Listrik (KRL).

Hal ini ditanggapi Achmad Nur Hidayat dalam tayangan YouTube pribadi miliknya. Dalam tayangan itu, Achmad Nur Hidayat mengatakan bahwa rencana perubahan tarif KRL itu seakan membedakan golongan si kaya dan si miskin.

Achmad Nur Hidayat juga menilai bahwa rencana pembedaan tarif tersebut justru menunjukkan sebenarnya perkeretaapian sedang kebingungan.

“Ini menjadi polemik ya. Saya kira mungkin menggunakan istilah golongan kaya dan golongan miskin itu sebetulnya adalah satu simplifikasi yang sedang ditunjukkan oleh masyarakat oleh publik bahwa sebenarnya kebijakan perkereta apian ini sedang mengalami kebingungan,” tutur Achmad Nur Hidayat dikutip NewsWorthy dari tayangan YouTube pribadi miliknya, Rabu (4/1).

Lanjut, hal yang menurut Achmad Nur Hidayat jadi polemik tersebut juga membuat heran lantaran di zaman Indonesia yang sudah merdeka, terjadi diskriminatif berdasarkan pendapatan.

“Kenapa bingung? Karena kok bisa-bisanya ini ada di zaman kita merdeka begini itu diskriminatif itu disesuaikan dengan pendapatan, income,” ujar Achmad Nur Hidayat.

Diketahui, sistem tarif KRL ke depan akan fokus pada tarif subsidi tepat guna. Bagi mereka yang tergolong berpenghasilan tinggi akan membayar tarif tanpa subsidi.

Kemenhub berencana akan menaikkan tarif tiket KRL menjadi Rp 5.000 untuk perjalanan sepanjang 25 kilometer pertama. Kemudian tarif lanjutan 10 kilometer berikutnya tetap di angka Rp 1.000.

Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati, memastikan belum ada kenaikan tarif commuter line atau KRL Jabodetabek dalam waktu dekat. Kendati demikian, Kemenhub tengah mengkaji perubahan skema tarif tersebut. Pasalnya, tiket KRL saat ini masih disubsidi oleh negara lewat public service obligation (PSO).

“Karena itu, untuk memastikan subsidi diterima oleh masyarakat yang membutuhkan, Direktorat Jenderal Perkeretaapian melakukan kajian mengenai skema subsidi PSO yang lebih tepat sasaran,” tutur Adita dalam keterangannya dikutip dari Tempo.

Sumber: nw.wartaekonomi.co.id