28 Desember 2022

ARAHNEWS.COM – Ekonomi dunia yang menjadi bulan-bulanan dalam tahun ini akibat perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan krisis energi dan inflasi yang begitu besar.

Sehingga membuat beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara eropa lainnya mengalami keterpurukan.

Pengangguran di AS yang menggila, krisis pangan di Inggris yang dipicu oleh Inflasi yang tinggi.

Inflasi melanda hampir seluruh negara membuat bank-bank sentral melakukan kenaikan suku bunga secara ekstrim sehingga membawa ekonomi dunia ke arah resesi.

Daya beli menjadi lemah sehingga setiap negara cenderung menahan impor dan juga menahan ekspor untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Beberapa waktu lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mencapai 5,72% melebihi pertumbuhan ekonomi negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Cina, Jerman dan Inggris.

Wajah-wajah sumringah sempat mewarnai pemerintah karena merasa sudah meraih sebuah pencapaian yang besar.

Tapi diwaktu yang sama inflasi di Indonesia mencapai 5,71%.

Perang Rusia dan Ukraina semakin meluas eskalasinya, Nato dan AS ikut campur semakin dalam.

Terakhir di bulan ini Zelensky melakukan kunjungan dan AS memberikan bantuan persenjataan dan keuangan kepada Ukraina.

Tentunya hal ini membuat tensi ketegangan Rusia dan Ukraina semakin tinggi.

Ini menjadi ancaman besar yang akan membuat negara-negara di dunia akan sulit keluar dari inflasi.

Peta konflik pun semakin meluas. Konflik Korea Selatan dan Korea Utara sudah dimulai yang dipicu oleh latihan perang AS dengan Korea Selatan.

Yang membuat Korea Utara terprovokasi, demikian juga Cina dengan Taiwan.

Kondisi ini menjadi preseden buruk terhadap situasi ekonomi global kedepan. Indikator resesi ekonomi semakin kuat.

Jika ini tidak segera diselesaikan maka pertumbuhan ekonomi sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Indonesia akan mengalami stagflasi.

Indikator-indikator di atas akan menyebabkan inflasi bertahan lebih lama.

Varian baru Covid 19 semakin bertambah dan menyebar

Saat ini Covid 19 kembali menggila dengan berbagai varian baru. Di China sudah menjangkiti sekitar 250 juta jiwa.

Ini angka yang sangat fantastis. Tentu saja ini menjadi ancaman berikutnya bagi pertumbuhan ekonomi dunia.

Cepat atau lambat pandemi ini akan terus menyebar ke berbagai negara seperti yang terjadi sebelumnya.

Situasi ekonomi di Indonesia tidak lepas dari kondisi global. Situasi Geopolitik dunia yang tidak kondusif sedikit banyaknya akan berpengaruh kepada Indonesia.

Terbukti dengan naiknya harga BBM yang gila-gilaan, peningkatan angka PHK yang besar-besaran akibat demand ekspor yang rendah dan lain-lain.

Suku bunga pun sedemikian tinggi memukul para pengusaha yang meminjam uang ke bank, hal ini pun menyebabkan orang-orang menahan diri untuk pinjam ke bank.

Pemerintah tampaknya optimis apalagi telah ada laporan mengenai surplus perdagangan yang terjadi akibat wind fall dari naiknya harga CPO dan Batubara.

Dan surplus ini tidak linier dengan kesejahteraan masyarakat karena yang menikmati windfall ini hanya segelintir oligarki.

Windfall CPO dan batubara ini belum tentu akan bertahan lebih lama sehingga jika ini jika harga CPO dan batubara anjlok maka surplus neraca perdagangan tidak terjamin untuk bisa dipertahankan.

Tapi kenyataannya daya beli masyarakat masih lemah. Resesi sudah mulai terasa terbukti dengan demand terhadap beberapa komoditas seperti tekstil yang menurun yang menyebabkan PHK secara besar-besaran.

Tahun depan kemungkinan situasinya akan lebih parah dan lebih diperparah lagi.

Kondisi resesi ekonomi ini akan membuat banyak perusahaan gulung tikar.

Sehingga kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan dibawah 5% di tahun depan.

Oleh: Achmad Nur Hidayatekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

Sumber: arahnews.com