Jumat, 16/12/2022

Peristiwa protes Bupati Meranti Muhammad Adil terhadap Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan dalam sebuah forum terkait Bagi Hasil Pusat dan Daerah terus menjadi polemik. Terakhir Muhammad Adil dipanggil oleh pihak Kementerian Dalam Negeri untuk dimintai keterangan terkait ucapannya tersebut.

Dalam forum bersama Kementerian Keuangan, Muhammad Adil protes terhadap Kementerian Keuangan terkait bagi hasil Migas ke daerahnya. Pasalnya kabupaten Meranti sebagai daerah penghasil Migas dimana produksi minyak per hari menurut Adil, melonjak menjadi  9000 barel per hari.

Namun, di tengah lonjakan produksi minyak tersebut, angka kemiskinan di Kabupaten Meranti menjadi salah satu perhatian. Pasalnya, angka kemiskinan wilayah tersebut dalam tiga tahun terakhir terbilang tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip pada Senin (12/22), penduduk miskin di Kabupaten Meranti pada 2021 tercatat masih ada sebanyak 48,50 ribu orang. Tercatat, pada 2020, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Meranti tercatat sebanyak 47,10 ribu orang dan 2019 tercatat sebanyak 49,89 ribu orang.

Jika dilihat dari persentasenya, jumlah penduduk miskin Meranti pada 2021 sebesar 25,68 persen dari total penduduk Meranti. Artinya, 1 dari 4 orang di Meranti terbilang miskin.

Apa yang dipermasalahkan Adil ini adalah terkait UU No 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) dan transparansi Bagi Hasil kepada daerah Penghasil Migas?

UU HKPD ini memang sejak disahkan mendapat kritik dari banyak pihak, dimana beberapa hal yang menjadi catatan bahwa UU ini justru memperkuat  resentralisasi dan mereduksi semangat desentralisasi yang merupakan inti dari otonomi daerah.

Misalnya pada Pasal 169 UU  HKPD menyebutkan bahwa pemerintah pusat dapat mengendalikan APBD pada tiga kondisi yaitu: (i) penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah; (ii) penetapan batas maksimal defisit APBD dan pembiayaan Utang Daerah dan (iii) pengendalian dalam kondisi darurat. Ketentuan ini menyebabkan daerah tidak bebas dalam mengelola fiskalnya sehingga hilangnya semangat reformasi, otonomi daerah, dan desentralisasi fiskal.

Selain itu,program-program daerah juga bisa diarahakan untuk sejalan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) sehingga daerah berpotensi tidak dapat berinovasi. Hal itu juga terlihat dari alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) yang salah satunya ditujukan untuk pemenuhan target layanan yang menjadi prioritas nasional. Faktanya, tidak semua prioritas nasional sejalan dengan kebutuhan daerah.

Apa yang dipersoalkan Bupati  Muhammad Adil ini tentu  saja sangat beralasan. Dimana daerahnya yang kaya akan minyak 85%nya ditarik ke pusat dan Meranti hanya mendapatkan jatah 15%nya. Sementara itu kondisi masyarakat di Meranti seperti yang disampaikan Bupati menurut data BPS mengalami miskin ekstrem dimana hampir 25% masyarakat Meranti berada di bawah kemiskinan ekstrem.

Hal ini sangat tentu saja wajar membuat Bupati Adil sangat geram dengan hal tersebut. Ditambah wajar karena sikap pemerintah pusat yang tidak memberikan respon yang baik atas keluhan sang Bupati. Jika di daerah yang kaya SDA tapi masyarakat nya miskin apa bedanya pemerintah pusat dengan penjajah kolonial yang menghisap SDA di daerah dan membawanya ke negerinya dan membiarkan masyarakat di daerah tersebut mati kelaparan.

Oleh : Achmad Nur Hidayat | Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

Sumber: neraca.co.id