Kamis, 8 Desember 2022

SALAH satu hasil reformasi yang patut disyukuri oleh bangsa Indonesia adalah pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun wali kota dan bupati yang dipilih secara langsung oleh masyarakat. Dimana sebelum reformasi, para kepala daerah ini dipilih oleh pusat, dalam hal ini adalah presiden.

Dengan pemilihan secara langsung tersebut masyarakat dapat memilih seorang kepala daerah yang benar-benar mewakili aspirasi mereka. Karena hakikat dari demokrasi adalah pertisipasi langsung publik untuk memilih pemimpin dan wakil wakilnya yang akan memperjuangkan hajat hidup masyarakat banyak.

Namun pemilihan langsung kepala daerah ini berusaha dirampas kembali oleh pemerintah pusat. Adanya peraturan pilkada secara serentak setelah Pemilu 2024 membuat kepala daerah yang habis jabatannya sebelumnya 2024 akan ditunjuk oleh pemerintah pusat, dalam hal ini adalah presiden dan mendagri.

Tentu saja hal ini dari awal dikritisi oleh banyak pihak. Bagaimana di tahun ini dimana pemilu masih 2 tahun lagi namun karena adanya peraturan pilkada serentak tersebut pemimpin daerah tersebut dipilih oleh pusat dan tidak dipilih langsung oleh masyarakat.

Lebih parahnya lagi seorang pejabat sementara yang ditunjuk pusat tersebut diberi kewenangan yang luas oleh Kemendagri. Pejabat sementara diberi kewenangan yang luas untuk memutasi dan mencopot pejabat pejabat yang ada di bawahnya. Dan hal ini sangat berbahaya dan benar benar telah mengancam demokrasi dan reformasi yang telah dibangun selama ini.

Kepala kepala daerah yang di tunjuk oleh pemerintah pusat tersebut tentu adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat. Agenda agenda politik dan kekuasaan tentu saja akan sangat dengan mudah dijalankan oleh pejabat-pejabat sementara ini.

Yang paling kentara tentang berapa rusaknya penjabat sementara ini adalah apa yang terjadi di ibu kota Jakarta. Dimana penjabat sementara yang masih merangkap kepala kesekretariatan presiden yang belum genap dua bulan menjabat sudah mencopot sejumlah dirut-dirut dan komisaris BUMD.

Bahkan terbaru Penjabat Sementara Provinsi DKI Jakarta tersebut telah mencopot orang nomor satu di birokrasi Pemprov DKI yaitu Marullah Matali tanpa alasan yang jelas.

Pencopotan tersebut sangat kental nuansa politik yang ada. Dimana Marullah Matali sebagai Sekda diberhentikan tanpa alasan yang jelas dan ini sangat berbahaya bagi birokraso di Pemprov DKI.

Apa yang dilakukan Pj Heru Budi ini merupakan tindakan mematikan demokrasi di DKI. Heru Budi yang notabene hanyalah seorang penjabat sementara yang mestinya hanya mengurus hal-hal yang bersifat  administratif saja tapi bahkan mengambil tindakan yang amat vital, yaitu mencopot seorang sekda dan menggantikan dengan orang yang tidak jelas apa parameternya.

Tindakan yang dilakukan Heru Budi ini harus dilawan karena hal tersebut akan menjadi preseden buruk bagi DKI Jakarta. Masyarakat Jakarta harus bersuara secara lantang terhadap kebijakan kebijakan Heru Budi.

Jika tidak masyakarat Jakarta sendiri yang akan merasakan kerugiannya.

OLEH : ACHMAD NUR HIDAYAT| Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

Sumber: rmoldkijakarta.id