Terjadi lagi peristiwa bom bunuh diri. Kali ini di area Polsek Astanaanyar dan dikabarkan menimbulkan korban meninggal satu orang dan korban luka-luka sebanyak dua orang.
Polanya pun hampir sama. Ada statement yang ditempel dimotor pelaku berisi statement “KUHP hukum kafir/syirik, perangi penegak hukum setan QS. 9:29”, serta lambang yang biasa dipakai ISIS. Sebuah statement yang janggal seperti dipaksakan agar tampak terkait dengan penolakan RKUHP yang ditolak oleh banyak kalangan. Yang janggal adalah aksi bom bunuh diri ini yang menargetkan kepolisian sementara yang mengesahkan RKUHP sendiri adalah DPR RI.
Disetiap peristiwa semacam ini biasanya ada beberapa respon yang akan muncul dipublik. Pertama publik akan mengutuk pelaku dan tidak sedikit secara eksplisit mengkambinghitamkan islam sebagai sumber kekerasan. Kedua, adanya keprihatinan atau empati terhadap korban.
Tindakan bom bunuh diri ini harus dikecam. Penegak hukum harus usut hingga tuntas, temukan siapa dalangnya dan bongkar jaringannya.
Publik harus memisahkan isu islam ini dengan narasi agama kekerasan. Seperti yang diketahui bersama kasus-kasus terorisme ini mencuat setelah peristiwa 11/9, padahal sebelumnya semua baik-baik saja. Adapun konsep jihad yang di brainwash kepada para pelaku oleh jaringannya terasa seperti miskonsepsi yang didesain. Dan ujung-ujungnya muslim mayoritas yang cinta damai ikut menjadi tertuduh dan korban islamophobia.
Pertanyaannya, apakah korban dari pihak kepolisian ini akan merubah citra kepolisian dimata masyarakat menjadi lebih baik setelah tercorengnya citra polisi akibat kasus Ferdy Sambo dan kasus suap tambang yang melibatkan Kabareskrim?
Publik tentunya secara manusiawi akan berempati terhadap korban yaitu anggota kepolisian. Mereka terluka saat menjalankan tugasnya.
Tapi empati publik terhadap korban ini tidak akan serta merta mengobati citra Polri yang jatuh akibat berbagai kasus di internal kepolisian yang sedang terjadi dan belum kunjung usai.
RKHUP yang disidangkan kemarin, dapat dikatakan cacat prosedur, publik mungkin akan mengajukan gugatan ke MK, pasal penghinaan akan menjadikan Indonesia masuk ke negara otoritarian baru. Pemberlakuan pasal penghinaan terhadap lembaga-lembaga negara adalah sebuah kemunduran dalam sejarah Indonesia. Pemberlakuan pasal ini akan membungkam kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat.
OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT
Penulis adalah Ekonom dan Pakar kebijakan publik Narasi Institute
Sumber: oposisicerdas.com