Rabu, 02 November 2022

Warta Ekonomi, Jakarta – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menyebut data yang disajikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) yang memasukkan Indonesia ke dalam daftar 10 negara dengan ekonomi terbesar dunia bukan menjadi sebuah patokan untuk bertenang diri di tengah potensi resesi yang semakin nyata.

Menurutnya, posisi Indonesia berada di peringkat ke 7 di atas dua negara besar. yaitu Inggris dan Prancis, dengan mengacu kepada tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mengacu Purchasing Power Parity (PPP).

Berdasarkan data tersebut, Indonesia mencatatkan PDB sebesar US$4,02 triliun di 2022, yang dapat dikatakan angka tersebut tidaklah terlalu tinggi.

“Hal ini masih perlu dipertanyakan apakah karena PDB Indonesia yang naik ataukah karena negara-negara seperti Inggris dan Prancis ekonominya menurun akibat inflasi yang sedang tinggi-tingginya. Jadi informasi ini tentunya belum layak disikapi secara eforia,” ujar Achmad dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (1/11/2022).

Achmad menyebut besarnya PDB Indonesia berdasarkan data yang disajikan oleh IMF berbanding terbalik dengan situasi asumsi makro ekonomi Indonesia. Hal ini terlihat dari semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

“Pada kenyataannya rupiah semakin melemah. Awal pekan ini ditutup di level Rp15.597, turun 43 poin dari perdagangan sebelumnya di Rp15.554,” ujarnya. 

Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat inflasi pada Oktober 2022 telah mencapai angka 5,71 persen. Bank Indonesia juga beberapa kali telah melakukan penyesuaian suku bunga acuan. 

“Harga beras pun saat ini merangkak naik. Sedikit demi sedikit indikasi menuju resesi pun semakin terasa,” ungkapnya.

Peliknya kondisi yang dialami perekonomian Indonesia saat ini tidaklah direspons cepat oleh pemerintah. Hal tersebut terlihat dari sikap pemerintah yang belum menjelaskan program-program untuk mengantisipasi resesi secara rinci. Terutama dalam upaya memperkuat ketahanan pangan dan energi.

Achmad menyebut upaya ketahanan pangan seperti program Food Estate yang digadang-gadang dilakukan pun masih belum jelas pencapaiannya sudah sejauh mana hasilnya. 

“Malah yang terjadi, ratusan lahan food estate terbengkalai di Desa Mulya Sari, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah sebagaimana yang diberitakan media 10 Oktober 2022 lalu. Hal ini tentu bukan informasi yang bisa menggembirakan rakyat. Kekhawatiran akan semakin menjadi jika capaian-capaian program ketahanan pangan tidak jelas hasilnya,” ucapnya. 

Sementara itu dari sisi ketahanan energi, langkah apa yang akan diambil pun masih belum jelas informasinya bagi publik. Achmad menilai dalam mengatasi permasalahan krisis tentunya masyarakat berhak mengetahui kebijakan yang akan diambil pemerintah. 

Dengan begitu, masyarakat juga bisa memberikan kontribusi pemikiran jika program-program tersebut menjadi bahan diskursus.

“Jangan sampai terus bergantung pada energi impor yang tentunya akan membuat bangsa ini selalu terombang-ambing oleh fluktuasi harga dan terjebak dengan narasi subsidi yang membuat APBN jebol,” tutupnya.

Sumber: wartaekonomi.co.id