Sabtu, 12 November 2022

Warta Ekonomi, Jakarta – Pemerintah dianggap hanya memberikan narasi mengenai ancaman resesi 2023 yang digadang-gadang akan menjadi fase gelap perekonomian dunia. Namun, tak ada rencana antisipasi yang diungkapkan oleh pemerintah terkait ancaman tersebut.

Hal itu diungkapkan oleh ekonom dan pakar kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (12/11/2022).

“Publik menunggu tindakan konkret apa yang akan dilakukan oleh pemerintah menghadapi resesi yang akan datang. Adapun narasi yang dibangun hanya narasi-narasi yang menegaskan bahwa prediksi resesi 2023 benar-benar akan datang,” katanya.

Dia mencontohkan pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia pada 10 November lalu. Bahlil menyatakan tak setuju dengan narasi yang mengatakan ekonomi global baik-baik saja. Pandangannya berpacu pada kondisi sejumlah negara yang terjebak oleh IMF. Sementara untuk Indonesia sendiri, 2023 merupakan tahun politik menjelang pemilu serentak di 2024.

Namun, dalam narasi Bahlil, tak tergambar rencana antisipasi yang akan diambil oleh pemerintah untuk menghadapi resesi global.

Dalam kesempatan lain, Deputi Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir, menyampaikan tiga strategi yang akan dilakukan pemerintah, yakni pemberdayaan ekonomi domestik, pengendalian inflasi, dan perbaikan iklim investasi.

Akan tetapi, Achmad berpendapat ketiga strategi tersebut belum menjawab persoalan dasar dari ancaman resesi 2023, terutama pengendalian inflasi sektor pangan. Achmad juga menyoroti bagaimana Iskandar tak mengungkit soal pengendalian krisis energi.

“Khusus tentang pangan, jika melihat data statistik yang menyusun pertumbuhan ekonomi 5,72%, terkait pangan khususnya pertanian yang hanya menyumbang 1,65%. Sementara sektor pertanian ini yang paling banyak menyerap tenaga kerja sekitar 29,96% dari total 135,61 juta penduduk bekerja,” papar dia. “Dengan melihat angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondisi pangan akan semakin sulit di masa resesi yang akan datang. Apalagi kondisi nilai rupiah yang lemah tentunya membuat harga pupuk impor akan semakin mahal saat daya beli petani (khususnya) semakin melemah.”

Selain dua nama sebelumnya, Achmad juga menyinggung pernyataan perwakilan Menteri Keuangan, yakni Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo.

Pada 21 Oktober 2022 lalu, Prastowo mengatakan bahwa pemerintah sudah mengantisipasi dengan prediksi yang baik dan diharapkan pemerintah bisa terus menjaga momentum pemulihan ekonomi.

Adapun antisipasi itu mencakup reformasi subsidi bahan bakar minyak (BBM), pembangunan infrastruktur kesehatan dan digital, revitalisasi industri dan ekonomi hijau, serta peningkatan pendapatan negara dan spending better.

“Apa yang disampaikan Prastowo bukanlah hal yang baru, karena Presiden Jokowi sendiri sudah pernah menyampaikan hal yang serupa terkait dengan reformasi subsidi BBM yang akan dialihkan untuk hal yang lebih produktif,” kritik Achmad.

Statement ini bukan kabar yang baik bagi publik, karena jika BBM mahal maka resesi yang akan datang akan sangat berat untuk dihadapi. Termasuk statement lainnya yang belum secara jelas seperti apa upaya konkret yang akan dikerjakan.”

Dari sejumlah narasi tersebut, Achmad belum melihat adanya rencana konkret yang komprehensif dan matang untuk menghadapi resesi global yang akan datang.

“Hanya rencana-rencana usang yang sering yang disampaikan setiap tahunnya. Publik butuh kebaruan program yang disusun secara komprehensif dan disampaikan ke publik sehingga membuat publik lebih optimis,” tutup Achmad.

Sumber: wartaekonomi.co.id