Senin, 31 Oktober 2022

Warta Ekonomi, Jakarta – Pakar kebijakan publik mengkritik Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang meluncurkan kebijakan visa rumah kedua (Second Home Visa) pada Selasa (25/10/2022) lalu di Bali, tepat menjelang Pemilu 2024.

Isi visa itu berbunyi, orang asing atau mantan Warga Negara Indonesia (WNI) dapat tinggal selama lima atau 10 tahun dan bisa melakukan berbagai macam kegiatan, antara lain investasi dan kegiatan lainnya.

Menurut Achmad Nur Hidayat pakar kebijakan publik Narasi Institute, langkah Kemenkumham memancing kritik banyak kalangan.

“Ini memunculkan kekhawatiran adanya migrasi besar-besaran warga negara asing (WNA) China yang mengancam stabilitas negara dan berpotensi memunculkan terjadinya kecurangan-kecurangan pada Pemilu 2024 nanti,” katanya, seperti dikutip dalam keterangan tertulis, Senin (31/10/2022).

Sejumlah kekhawatiran, kata Achmad, ini sangat beralasan mengingat kebijakan ini sangat tiba-tiba.

“Tidak ada diskursus publik. Dan DPR tidak ambil peranan untuk menggodok kebijakan ini. Hal ini mengindikasikan adanya agenda terselubung dibalik kebijakan ini,” jelasnya.

“Kita tahu saat ini pemerintah sedang membutuhkan pendanaan untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dan menjelang pemilu 2024,” ungkap Achmad, yang juga ekonom di Narasi Institute.

Achmad menerangkan, untuk menjaring pendanaan IKN pun telah dibuat kebijakan yang kontroversial di antaranya berupa hak guna bangunan (HGB) IKN yang berlaku hingga 160 tahun dan bebas pajak 30 tahun yang sangat berisiko menjadikan negara ini menjadi surga bagi para oligarki karena rakyat kecil akan sulit mendapatkan fasilitas semacam ini.

“Kebijakan-kebijakan seperti ini seperti halnya mengundang penjajah untuk menguasai kawasan-kawasan strategis negara ini,” tambahnya.

Dengan kebijakan Second Home Visa ini menambah daftar kekhawatiran hingga menimbulkan pertanyaan untuk siapa megaproyek IKN ini sesungguhnya.

“Untuk menjaga stabilitas negara maka Kebijakan Second Home Visa ini harus dibatalkan. DPR RI harus menggelar sidang untuk mempertanyakan tentang kebijakan ini,” tegasnya.

Publik, menurut Achmad, harus tahu dan terlibat dalam diskursus mengenai kebijakan ini. Juga kebijakan lainnya seperti pemberlakuan HGB 160 tahun dan bebas pajak 30 tahun di IKN.

Kecurigaan terhadap sejumlah kebijakan semacam ini tidak akan ada jika demokrasi di negara kita benar-benar dilaksanakan secara baik.

“Tapi kenyataannya janji-janji kampanye yang tidak dipenuhi, peranan oligarki yang sangat kental, money politik yang marak terjadi, korupsi-korupsi yang terjadi dengan hukuman yang sangat tidak berimbang, aktivitas buzzer yang membuat masyarakat terpolarisasi dan lain-lain menjadi bukti bahwa tujuan pemilu bagi yang berkuasa tidak benar-benar untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya untuk berkuasa guna menguntungkan pribadi dan kelompoknya saja,” paparnya.

Sumber: wartaekonomi.co.id