Jum’at, 04 November 2022
Warta Ekonomi, Jakarta – Perang antara Rusia dan Ukraina yang melibatkan negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) saat ini meluas ke negara-negara timur lainnya.
Sebut saja China dan Taiwan yang dipicu oleh kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taipei awal Agustus lalu, kemudian lebih jelas lagi saat kapal pesiar milik oligarki Rusia keluar masuk pelabuhan di Hong Kong yang membuat berang barat.
Sementara pimpinan Hong Kong John Lee mengatakan bahwa “tidak ada dasar hukum” bagi kota itu untuk bertindak atas sanksi Barat”, dan Hong Kong berada di bawah yurudiksi China yang merupakan sekutu dari Rusia tentunya tidak mau mengikuti keinginan AS.
Terakhir pada Rabu (2/11/2022) ada upaya saling serang antara Korea Utara dan Korea Selatan. Pyongyang terpancing dengan kegiatan latihan militer antara Washington dengan Seoul.
Korut yang merasa terancam dengan aktivitas militer tersebut menjadi berang hingga terjadilah tembak-menembak rudal balistik termasuk yang melintas ke perairan di Jepang.
Ekonom dan pakar kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai, kejadian-kejadian ini menimbulkan situasi geopolitik dunia semakin buruk dan akan sangat berdampak secara global terutama dari sisi ekonomi.
“Benang merah konflik-konflik ini selalu ada AS di dalamnya, seolah-olah menjadi penyulut disetiap konflik yang terjadi,” kata Achmad, dalam keterangan tertulis, Kamis (4/11/2022).
Perang dagang antara AS dan China, tambah Achmad, tampaknya akan berujung kepada perang fisik sekutu-sekutu yang menjadi proksi AS.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa perang adalah windfall profit bagi negara-negara produsen persenjataan khususnya Amerika Serikat. Semakin gencar perang terjadi semakin menguntungkan bagi negara-negara produsen persenjataan tersebut,” jelasnya.
Keuntungan selain dari sisi militer, perang dagang sektor minyak dan gas (migas) sangat mungkin mencuat menjadi suatu yang diperhatikan.
“Belum lagi bagaimana Rusia menawarkan minyak mentah dengan harga rendah dari harga minyak dunia menjadi magnet banyak negara untuk membeli minyak mentah dari Rusia,” kata ekonom.
Achmad menilai, secara gradual geopolitik terpolarisasi menjadi Timur dan Barat dengan ruang lingkup yang lebih luas.
“Diprediksi eskalasi ketegangan antara Timur dan Barat ini akan semakin naik. Dilihat dari peta geopolitiknya negara-negara sekutu timur dan barat akan semakin meluas menyeret negara-negara lainnya dalam konflik ini sehingga semua negara harus bersiap terkena dampak dari konflik ini,” terang peneliti di Narasi Institute itu.
“Ini menjadi PR besar bagi Indonesia untuk bisa bertahan dari imbas konflik yang sedang terjadi. Situasi geopolitik yang makin terpolarisasi ini jangan sampai Indonesia ikut terprovokasi dan terperosok dalam konflik ini. Secara ekonomi dan pertahanan Indonesia sangat tidak siap dengan resikonya. Rakyat akan menjadi korban,” tegasnya.
Selama Indonesia bisa menjaga netralitas maka ekonomi Indonesia tidak akan terlalu terpuruk. Indonesia tidak siap dengan cost perang. Jika ini terjadi maka dipastikan banyak persoalan-persoalan pelik di negara ini semakin tidak bisa diselesaikan seperti persoalan melemahnya situasi ekonomi negara.
“Indonesia mempunyai moment strategis untuk berperan dalam upaya meredakan ketegangan yaitu melalui event Presidensi G20. Peranan ini adalah amanat konstitusi yang harus dijalankan dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. Ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya mengingat konflik ini sangat berdampak kepada situasi ekonomi secara global, khususnya ke negara-negara anggota G20,” pungkas Achmad.
Sumber: wartaekonomi.co.id