8 November 2022
ARAHNEWS.COM – Ada keceriaan pada wajah Sri Mulyani dan tim ekonomi pemerintah pasca diterbitkannya laporan pertumbuhan ekonomi triwulan III 2022 oleh BPS yang melaporkan pertumbuhan 5,72 persen yoy (year on year).
Pertumbuhan triwulan III 2022 tersebut beranjak naik dari sebelumnya 5,01 persen di triwulan I dan 5,44 persen di triwulan II. Dan ini tentunya patut disyukuri.
Sedih Karena Pertumbuhan Ekonomi dalam 2 (dua) Kuartal Berturut-turut Kalah Dari Vietnam.
Narasi BPS sungguh menarik dengan mengatakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga tahun ini yaitu 5,72 persen melampaui pertumbuhan Amerika Serikat (1,8 persen) dan Cina (3,9 persen).
Namun lebih tepat jika BPS juga membandingkan dengan negara tetangga di ASEAN seperti Vietnam, Malaysia dan Filipina.
Ternyata, Ekonomi Vietnam lebih baik daripada Indonesia dimana Vietnam tumbuh di level 13,7 persen pada kurtal III 2022 ditambah lagi pada kuartal II 2022 Vietman tumbuh 7.83 persen lebih baik daripada Indonesia (tumbuh 5,44 persen).
Malaysia dan Filipina belum mengumumkan namun diprediksi lebih tinggi daripada Indonesia yaitu Malaysia tumbuh 6,2 persen dan Filipina diprediksi tumbuh 5,8 persen untuk kuartal III Tahun 2022.
Vietnam tumbuh begitu mengesankan dan menjadi juara ASEAN pada kuartal III-2022 ini.
Vietnam tumbuh tertinggi meski tidak ada proyek pemindahan Ibukota, tidak ada windfall profit dari harga komoditas dan tidak ada presidensi KTT G20.
Vietnam tumbuh karena daya beli masyarakatnya pulih lebih cepat dan ekspor ke AS meningkat tajam tumbuh 25,4 persen yoy.
Menkeu Sri Mulyani perlu belajar dari Vietnam
Pertumbuhan ekonomi Vietnam karena kuatnya permintaan konsumsi masyarakat yang pulih sangat cepat.
Ini membuktikan penanganan COVID19 yang tegas dan cepat melakukan lockdown terbatas di Vietnam berhasil.
Vietnam juga telah menurunkan PPN dari 10 persen menjadi 8 persen pada 2022 sehingga daya beli masyarakat sangat terbantu dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Beda dengan Indonesia PPN bukannnya turun malah naik dari 10 persen menjadi 11 persen. Konsumsi masyarakat Indonesia juga tumbuh melambat dari Vietnam karena adanya kenaikan harga BBM.
Bukannya menambah subsidi BBM malah BBM naik 30 persen sehingga pertumbuhan konsumsi sangat berat dan beban publik naik 30 persen.
Kenaikan BBM menjadi penyebab ekonomi tumbuh tidak optimal
Faktanya bahwa pasca pandemi covid membuat ekonomi seluruh dunia terpuruk namun saat ini ada pemulihan ekonomi yang terjadi meski pemulihan tersebut lebih lambat dari negara tetangga.
Kenapa pemulihan ekonomi Indonesia tidak secepat negara tetangga?
Kita bisa melihat kontribusi sektor transportasi yang tinggi menunjukkan mobilitas masyarakat semakin baik dibandingkan sebelumnya.
Di mana ruang gerak masyarakat dibatasi oleh kebijakan pembatasan sosial seperti PSBB dan PPKM karena gelombang kasus covid 19 masih sangat tinggi.
Tapi harus juga di ingat bahwa kenaikan BBM pun sangat berpengaruh, tapi hal ini justru berkontribusi kepada inflasi yang melemahkan daya beli masyarakat.
Adanya windfall akibat naiknya harga komoditas dunia seperti CPO dan batubara juga menambah nilai dari pertumbuhan tersebut.
Bonus demografi Indonesia yang besar juga sangat berpengaruh kepada tingkat konsumsi masyarakat.
Dengan longgarnya mobilitas ekonomi tentunya wajar jika sektor transportasi dan pergudangan menyusun kontribusi tertinggi.
Daya serap APBN yang rendah jadi sumber kekalahan dengan Vietnam
Pertumbuhan ekonomi TW 3 2021 ini tidak boleh membuat pemerintah terlena.
Karena melihat dari goverment spending tumbuh negatif -2,88 yoy menunjukkan bahwa belanja Pemerintah Belum Optimal dan Terkesan Tidak Serius dan Tidak Berkualitas.
Terbukti dengan daya serap APBN yang hanya 61 persen dengan menyisakan APBN sebesar 1.200 Triliun padahal periode 2022 tinggal 2 bulan lagi.
Belanja pemerintah akan dikatakan berkualitas jika Belanja yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri, Belanja yang bisa membangkitkan pertumbuhan ekonomi, Belanja yang dilakukan dengan efisien.
Jika melihat sektor pertanian yang menyusun sebesar 1,65 persen ini masih belum ideal.
Penilaian ini berdasarkan angka penyerapan tenaga kerja sektor pertanian menyerap tenaga kerja yang paling tinggi sebesar 29,96 persen dari total 135,61 juta penduduk bekerja berdasarkan laporan BPS untuk periode Februari 2022. Angka impor masih lebih besar daripada ekspor.
Yang harus diperhatikan adalah daya beli masyarakat masih lemah. Sementara angka demografi Indonesia ini sangat besar dan mobilisasi penduduk tidak dibatasi harusnya konsumsi masyarakat jauh lebih besar daripada Vietnam.
Sebenarnya Indonesia bisa tumbuh lebih tinggi lagi
Indonesia dapat tumbuh lebih tinggi bila hilirasi pertambangan dikembangkan.
Industri pertambangan seharusnya memberikan kontribusi yang besar, apalagi Indonesia penghasil nikel terbesar di dunia, tapi sektor ini hanya menyusun 3,22 persen saja.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terlalu rendah dari potensinya.
Harus kita bandingkan angka pertumbuhan ekonomi 5,72 persen dengan tingkat inflasi 5,71 persen artinya pertumbuhan ekonomi saat ini belum begitu signifikan, secara riil Indonesia hanya tumbuh 0.01 persen pada triwulan III 2022. Sangat kecil sekali!
Jangan lupa bahwa ancaman resesi ekonomi global tidak bisa diprediksi akan separah apa.
Ekonomi Negara maju tumbuh melambat sehingga akan melemahkan daya beli negara-negaranya.
Sementara negara tersebut adalah mitra dagang utama Indonesia. Sebagai contoh saat permintaan produk tekstil negara maju menurun pada 2022 ini.
Terjadi PHK sektor tekstil di Indonesia yang jumlah mencapai 64.000 orang berdasarkan penjelasan Asosiasi pengusaha textil Indonesia.
Winfall profit komoditas sawit dan batubara di 2023 tidak berkelanjutan
Tahun 2021-2022 Indonesia mendapatkan windfall dari komoditas CPO dan batubara. Situasi ini membuat Penerimaan APBN Indonesia surplus.
Namun Kondisi ini tentu diprediksi tidak bertahan di 2023, penurunan harga komoditas akan menjadi ancaman besar bagi APBN Indonesia dimasa resesi yang akan datang.
Salah satu opsi yang bisa ditempuh agar ekonomi tumbuh lebih tinggi lagi adalah Belanja Pemerintah harus mendukung meningkatkan konsumsi dalam negeri, mengurangi ketergantungan kepada impor, mencari pasar-pasar baru untuk ekspor komoditas.
Berdayakan para duta besar khususnya di kawasan Afrika dan lain-lain untuk menawarkan komoditas-komoditas yang dimiliki Indonesia.
Oleh: Achmad Nur Hidayat | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute**
Sumber: arahnews.com