Jumat, 18 November 2022

PENJABAT Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono saat ini kembali menuai kontroversi. Yang terbaru adalah mengusulkan kepada DPRD DKI untuk memangkas anggaran lajur sepeda yang dibutuhkan untuk menjamin keselamatan para pengguna sepeda berkendara.

Pengguna sepeda adalah mereka warga Jakarta yang sangat peduli lingkungan dan sangat rasional karena mereka tidak mau menambah kemacetan di Ibukota.

Mereka ini perlu mendapatkan dukungan pemerintah dan juga perlu diberikan jaminan keselamatan agar tidak mengalami kecelakaan ditabrak pengguna kendaraan bermotor lainnya.

Heru berinisiatif untuk memangkas anggaran untuk pengguna sepeda seolah-olah Heru ini tidak memahami lajur sepeda dibutuhkan warga dan lajur sepeda ada di seluruh kota besar di dunia sebagai simbol kota tersebut ramah lingkungan dan berkeadilan.

Heru seolah tidak peduli menjadikan Ibukota Jakarta, kota yang nyaman untuk semua pengguna jalan. Heru berfikir sempit dan hanya fokus kepada kaum elit kota Jakarta pemilik mobil mewah.

Langkah Heru tersebut bukan cerminan Pj Gubernur yang baik karena sangat tidak partisipatif dan tidak memiliki kewenangan membuat kebijakan-kebijakan baru yang merugikan publik jakarta.

Heru tidak mempunyai legitimasi secara demokratis. Tidak punya janji kampanye dan diskursus publik untuk setiap kebijakan yang dibuatnya. Ini sangat bertentangan dengan etika demokrasi.

Publik bisa melihat kebijakan-kebijakan yang diambil yang bertolak-belakang dengan kebijakan gubernur sebelumnya.

Heru mengusulkan pemangkasan anggaran untuk jalur sepeda semula dianggarkan dalam RAPBD 2023 sebesar Rp 38 miliar kemudian kami usulkan untuk dinolkan.

Sementara data Dishub DKI pada 2005 menunjukkan hanya 47 orang yang menggunakan sepeda per hari. Namun jumlahnya melonjak hingga 3.000 orang per hari setelah ada jalur sepeda. Pada Agustus 2022, jumlah pesepeda mencapai 4.000 orang per hari.

Jika melihat frame besarnya sebetulnya banyak kemanfaatan yang bisa dicapai dari pembuatan jalur ini, pertama transformasi jalan yang mendukung pejalan kaki dan sepeda maka akan sangat mengurangi polusi udara akibat emisi karbon yang berasal dari kendaraan, manfaat besar yang kedua adalah merubah habit yang lebih sehat bagi masyarakat melalui bersepeda, ini tentunya hal yang penting.

Sebuah kekonyolan RAPBD lajur sepeda ini diganti dengan pembuatan tempat parkir di Glodok sebesar Rp. 55,6 miliar. Ini sangat bertolak belakang dengan tujuan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi untuk mengurai kemacetan malah penggunaan kendaraan pribadi ini semakin difasilitasi.

Merubah perilaku masyarakat dari berkendaraan pribadi menjadi kendaraan publik sudah terlihat keberhasilannya dengan semakin murah dan nyamannya penggunaan transportasi publik. Dan transformasi ini masih membutuhkan waktu yang panjang sehingga penggunaan kendaraan pribadi yang beresiko macet semakin minim.

Pembuatan jalur sepeda tersebut dianggap pemborosan sementara dianggarkan untuk pemberian 7 item hibah baru di Dishub DKI senilai Rp 409 miliar. Dana itu rencananya dipakai untuk pengadaan kendaraan dinas operasional atau lapangan polisi dan TNI yang semestinya diajukan sendiri oleh masing-masing institusi tersebut dikoridornya.

Sementara anggaran PSO Transjakarta yang semula diusulkan Rp 4,24 triliun turun menjadi Rp 3,5 triliun.

Belum lagi mengembalikan program naturalisasi sungai yang memperlambat aliran sungai dan menambah daya resap air menjadi normalisasi sungai yang justru mempercepat dan mengurangi penyerapan air sungai sehingga akan meningkatkan resiko banjir.

Pergantian-pergantian program dan anggaran ini justru akan mengembalikan DKI Jakarta kemasa lalu. Keberhasilan yang sudah diraih menjadi rusak.

Efek rusak Heru Budi Hartono di Jakarta kelihatannya berpotensi membesar. Sepertinya tidak ada yang dapat menghentikan langkah Heru Budi Hartono selain protes massal warga jakarta.

Heru melakukan otak-atik anggaran APBN sedemikian nekat karena merasa mendapatkan dukungan penuh dari Presiden Jokowi, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnivian dan elit partai berkuasa yang menguasai  DPRD DKI Jakarta.

Kebijakan-kebijakan yang bertolakbelakang dengan kebijakan Gubernur sebelumnya ini mengesankan Heru Budi Hartono memiliki motif menghilangkan jejak keberhasilan gubernur sebelumnya yang diakui dunia. Ini sangat kental bernuansa politis ketimbang kemaslahatan masyarakat. Duh! []

OLEH : ACHMAD NUR HIDAYAT | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

Sumber: rmoldkijakarta.id