6 Oktober 2022
BISNIS NEWS – Roni Dwi Susanto Mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah memilih mundur pada awal September 2021.
Harusnya dia masih menjabat sampai 13 Januari 2022. Roni kemudian memilih untuk kembali ke institusi awalnya yaitu Bappenas menjadi Widyaiswara.
Posisi Roni sendiri diisi sementara oleh Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan LKPP Sarah Sadiqa sebagai pelaksana tugas.
Mundur nya Roni sebagai ketua LKPP ini konon tak lepas dari intervensi 2 orang dekat presiden Jokowi.
Yaitu Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko dan Menteri Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
Semua itu terkait masalah mobil listrik yang diminta kedua orang pembantu presiden ini untuk masuk ke dalam E Katalog LKPP.
Dalam berbagai kesempatan meeting Roni kerap disindir baik oleh Luhut maupun Moeldoko sebagai orang yang tidak bisa diajak kerjasama.
Bahkan Roni dianggap telah membangkang terhadap perintah presiden Jokowi yang sudah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Pada saat ini Roni bukannya tidak mau untuk memasukkan kendaraan listrik ke E-Katalog.
Roni hanya mempertanyakan kebutuhan pengadaan dan kesiapan infrastrukturnya.
Pertimbangan Roni ini sudah sesuai dengan Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2021 dan aturan turunannya, yaitu Surat Edaran Deputi Bidang Monitoring-Evaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi Nomor 2 Tahun 2021.
Aturan tersebut pada intinya, mensyaratkan setiap produk yang masuk ke E-Katalog telah terverifikasi. Verifikasi dilakukan mulai sisi harga hingga infrastruktur.
Sebab, dalam aturan ini, LKPP akan menjadi salah satu pihak yang turut bertanggung jawab jika suatu hari ditemukan masalah pada produk-produk di E-Katalog.
Jadi lebih mempertanyakan segala sesuatunya. Jangan sampai dibeli nanti mangkrak.
“Kita sudah beli mobil listrik itu, tapi nggak terpakai, karena nggak ada charger-nya,” kata sumber tersebut.
Apa yang dilakukan Roni sendiri sebagai Ketua LKPP sudah memenuhi prinsip Good Corporate Governance.
Penyelenggaraan Pemerintah yang baik dan transparan. Yang jadi pertanyaan justru tindakan yang dilakukan baik oleh Luhut maupun Moeldoko tersebut.
Dan jika ditelaah lebih lanjut didapatkan data bahwa baik Moeldoko maupun Luhut ternyata selain sebagai pejabat ternyata juga memiliki perusahaan.
Baik langsung maupun perusahaan yang tidak langsung tetapi memiliki afiliasi.
Salah satu perusahaan kendaraan listrik yang ikut berjualan melalui E-Katalog adalah PT Mobil Anak Bangsa (MAB).
Perusahaan ini didirikan Moeldoko pada 2017. Joanina Novinda, anak ke-2 Moeldoko, menjabat sebagai direksi di perusahaan tersebut.
Moeldoko sendiri membenarkan bahwa perusahaannya memang ikut berpartisipasi dalam penjualan bus listrik di E-Katalog.
Dia bahkan mengaku produknya sudah dibeli oleh beberapa lembaga dan pemerintah daerah.
Salah satunya bus listrik berukuran sedang seharga Rp 4,6 miliaran, yang dibeli oleh Departemen Perhubungan Pemerintah Provinsi Semarang dan Universitas Indonesia.
Meskipun Moeldoko menyangkal menekan mantan ketua LKPP Roni Dwi Susanto.
Adapun Luhut memang tidak seperti Moeldoko, yang secara terang-terangan ikut berjualan kendaraan listrik di E-Katalog.
Namun Luhut melalui PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) rupanya telah berencana membangun sebuah perusahaan kendaraan listrik.
Luhut diketahui masih memiliki sekitar 10 persen saham di perusahaan ini melalui PT Toba Sejahtera.
Pada November 2021, TOBA bersama PT Goto Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) pun resmi mengumumkan perusahaan gabungan bernama Electrum.
Perusahaan ini rencananya membangun pabrik dan sejumlah infrastruktur kendaraan listrik. Adapun CEO Electrum adalah Pandu Sjahrir yang merupakan keponakan dari Luhut.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menduga kebijakan-kebijakan Jokowi ini tidaklah murni untuk kepentingan penanggulangan efek rumah kaca.
Di balik itu, Jatam menduga ada kepentingan elite politik yang turut bermain di industri kendaraan listrik.
Nama-nama seperti Luhut, Moeldoko, serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim disebut bakal menenggak keuntungan dari kebijakan ini.
Nama Nadiem masuk dalam daftar itu lantaran merupakan pendiri PT Aplikasi Karya Anak Bangsa, yang menjadi cikal bakal perusahaan GOTO.
Nadiem disebut masih memiliki kepentingan di perusahaan tersebut.
Dari data data yang ada terkait mobil listrik tersebut maka kita dapat menyimpulkan telah terjadi konflik kepentingan antara penguasa dan para oligarkhi bisnis.
Yang bekerjasama untuk mengeruk keuntungan yang sebesar besarnya bagi kepentingan pribadi dan kelompok nya dengan menunggangi kebijakan negara.
Jika presiden Jokowi membiarkan saja situasi yang terjadi ini maka ini berpotensi kuat untuk menjadi temuan hukum di masa yang akan datang.
Bahkan bukan tidak mungkin presiden pun akan diminta pertanggung jawabannya atas Kebijakannya InPres Nomor 7 tahun 2022 tersebut.
Karena hal tersebut sangat tidak sesuai dengan pengelolaan pemerintahan yang Good Corporate Governance (GCG).
Opini: Achmad Nur Hidayat, Ekonom & Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute.***
Sumber: bisnisnews.com