06 Oktober 2022

JAKARTA – Citra persepakbolaan nasional di titik nadir, lebih-lebih setelah dunia menyoroti tajam tragedi Stadion Kanjuruhan. Sedih campur kecewa, Presiden Jokowi memerintahkan evaluasi total atas sistem penyelenggaraan liga sepak bola dalam negeri. Namun, perintah presiden masih dianggap kurang memuaskan rasa keadilan masyarakat. 

Jokowi menegaskan, sistem penyelenggaraan liga sepak bola harus dievaluasi secara menyeluruh. Mulai dari manajemen pertandingan, manajemen stadion, manajemen penonton, manajemen waktu pertandingan, hingga manajemen pengamanan.

“Semuanya harus dievaluasi total agar peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan ini tidak terjadi lagi,” kata Jokowi kepada media massa di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Rabu (5/10/2022).

Jokowi bahkan sudah berbicara langsung dengan Presiden Federation International de Football Association (FIFA), Gianni Infantino, untuk membahas peristiwa Kanjuruhan dan mencari solusi agar tragedi tidak terulang.

Dalam perbincangan melalui sambungan telepon itu, FIFA menyatakan siap membantu memperbaiki manajemen penyelenggaraan pertandingan liga sepak bola dalam negeri.

Kepala Negara juga telah memerintahkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, mengaudit bangunan Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur dan seluruh stadion peserta Liga 1, Liga 2, dan Liga 3.

Jokowi minta Kementerian PUPR memperbaiki pintu, pintu gerbang, posisi duduk, pagar dan lainnya, sehingga keselamatan penonton menjadi hal paling utama.

“Kita sudah memerintahkan Menteri PUPR untuk mengaudit bangunan Stadion Kanjuruhan, terhadap seluruh stadion yang dipakai liga,” kata dia.

Jokowi menetapkan target bagi Kementerian PUPR untuk menuntaskan audit Stadion Kanjuruhan dalam waktu satu bulan.

“Sekali lagi yang paling penting, seluruh bangunan stadion akan diaudit oleh Kementerian PUPR,” tegasnya. 

Dijelaskan Jokowi, salah satu penyebab banyaknya korban jiwa dalam tragedi memilukan di Stadion Kanjuruhan adalah akses pintu keluar stadion yang terkunci. “Problemnya ada di pintu yang terkunci,” ujarnya.

Selain akses pintu yang terkunci, tangga stadion juga terlalu curam. Ditambah kepanikan dari seluruh penonton memicu kondisi berdesakan.

Jika merujuk Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) dengan kapasitas penonton 80 ribu orang, hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk semua orang bisa keluar dari dalam stadion. 

“Tapi itu saya hanya melihat lapangan. Semua akan disimpulkan tim independen pencari fakta,” ujar Jokowi.

Pemerintah sendiri sudah menunjukkan kepedulian dengan membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, yang dipercaya menjadi ketua meminta timnya menyelesaikan investigasi dalam waktu dua pekan atau lebih cepat dari tenggang waktu satu bulan yang diberikan Presiden Joko Widodo.

Hal itu disampaikan salah seorang anggota TGIPF, Laode M. Syarif, setelah mengikuti rapat perdana bersama tim di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa malam.

Mantan wakil Ketua KPK itu mengatakan, TGIPF tidak hanya memgungkapkan hasil penelusuran Tragedi Kanjuruhan, tetapi juga rekomendasi perbaikan tata kelola sepak bola nasional.

“Pertemuan ini membahas kesedihan yang luar biasa ini, tetapi diharapkan rekomendasinya itu bukan hanya untuk kasus ini tetapi perbaikan sepakbola Indonesia ke depan,” kata Laode dalam siaran pers Kemenpora , Rabu.

“Yang kedua harus ada keadilan bagi para korban. Karena itu, nanti akan ada tim komunikasi tersendiri yang akan ditunjuk. Jadi (pertemuan) malam ini perkenalan dulu dan diharapkan oleh Pak Menko dalam waktu dua pekan selesai,” ujar dia.

Rapat perdana TGIPF membahas penyusunan rencana yang akan dilakukan oleh tim selama dua pekan ke depan. TGIPF berjanji melaksanakan tugasnya dengan transparan dan secepat-cepatnya.

Tim beranggotakan 13 orang itu juga akan bekerja mencari akar masalah Tragedi Kanjuruhan yang merenggut setidaknya 131 jiwa itu. 

Tak hanya itu, tim tersebut juga akan memberikan rekomendasi sanksi kepada pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran dalam pertandingan Arema FC dan Persebaya Surabaya yang memicu kerusuhan besar dan jatuhnya korban jiwa.

Dalam sejumlah video yang viral, terekam kekerasan yang dilakukan aparat Polri-TNI dengan memukuli dan menendang suporter Arema. Ketika penonton makin banyak masuk ke lapangan usai pertandingan, aparat kepolisian justru melakukan penembakan gas air mata ke tribun yang dipenuhi suporter termasuk puluhan anak-anak. 

Diduga, penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use force) melalui penggunaan gas air mata dan pengendalian masa yang tidak sesuai prosedur menjadi penyebab banyaknya korban jiwa yang berjatuhan.

Penggunaan gas air mata yang tidak sesuai dengan prosedur pengendalian massa mengakibatkan suporter di tribun berdesak-desakan mencari pintu keluar, sesak nafas, pingsan dan saling injak. 

Hal tersebut diperparah dengan kelebihan kapasitas stadion dan pertandingan big match yang dilakukan pada malam hari. 

Padahal,, penggunaan gas Air mata tersebut dilarang oleh peraturan FIFA. FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion.

Evaluasi Kemenpora-PSSI

Pakar kebijakan publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, mengatakan, perintah presiden seharusnya bisa lebih memuaskan rasa keadilan publik.

Caranya, Jokowi mengevaluasi kinerja Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Menpora Zainudin Amali harus bertanggung jawab atas tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola dunia sejak 1964. 

Zainudin Amali diduga melakukan pembiaran atas penyelengaraan BRI Liga 1 yang serampangan dan tidak profesional. Selain itu, Achmad juga menduga Zainuddin Amali memaksakan peserta BRI Liga 1 untuk segera bertanding tanpa melakukan pengecekan terhadap kesiapannya di berbagai daerah.

Tak kalah penting, pemerintah juga harus menghukum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang diketuai oleh Mochamad Iriawan alias Iwan Bule karena gagal melakukan pembinaan kepada panitia penyelenggara BRI Liga 1. 

Kegagalan PSSI melakukan pembinaan ini fatal buat Indonesia. Sebab, Indonesia berpotensi kehilangan kesempatan untuk menjadi tuan rumah untuk Piala Dunia U-20, Piala Asia, dan liga bergengsi lainnya. 

“Secara etika, keduanya (Zainuddin Amali dan Mochamad Iriawan) harus mundur. Secara hukum, mereka juga tetap diperiksa,” kata Achmad kepada Info Indonesia.

Dia menegaskan, Jokowi harus mengevaluasi level pengambil kebijakan di dalam Kemenpora dan PSSI. Keduanya gagal memberikan layanan penyelenggaraan olahraga yang aman, sportif dan terkesan hanya mementingkan bisnis daripada memerhatikan keselamatan publik.

Lebih jauh dari itu,  yang harus dievaluasi adalah semua olahraga di Indonesia. Seluruh olahraga di Tanah Air harus mendahulukan keselamatan publik daripada motif bisnis.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, memiliki pandangan yang sama. Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, seharusnya malu dan mengundurkan diri dengan adanya peristiwa terburuk di sepakbola nasional tersebut.

“Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan (Iwan Bule) seharusnya malu dan mengundurkan diri dengan adanya peristiwa terburuk di sepakbola nasional,” kata Sugeng.

Selain itu, IPW mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mencabut izin penyelenggaraan sementara seluruh kompetisi liga yang dilakukan PSSI sebagai bahan evaluasi harkamtibmas. 

Selain itu, menganalisa sistem pengamanan yang dilaksanakan oleh aparat kepolisian dalam mengendalikan kericuhan di sepakbola. 

Pasalnya, kericuhan berawal dari kekecewaan suporter tim tuan rumah yang turun ke lapangan tanpa dapat dikendalikan oleh pihak keamanan. Aparat kepolisian yang tidak sebanding dengan jumlah penonton, secara membabi buta menembakkan gas air mata sehingga menimbulkan kepanikan terhadap penonton yang jumlahnya ribuan. 

“Akibatnya, banyak penonton yang sulit bernafas dan pingsan, sehingga banyak jatuh korban yang terinjak-injak di sekitar Stadion Kanjuruhan, Malang,” kata dia.

Padahal, penggunaan gas air mata di stadion sepak bola sesuai aturan FIFA dilarang. Hal itu tercantum dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations pada pasal 19 huruf b disebutkan bahwa sama sekali tidak diperbolehkan mempergunakan senjata api atau gas pengendali massa.

Ciptakan Perubahan 

Koordinator Save Our Soccer, Akmal Marhali, menilai, evakuasi total manajemen penyelenggaraan pertandingan sepak bola di Indonesia menjadi keinginan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).

Sebab, tugas dari TGIPF bukan hanya sekadar mencari pihak yang bersalah dan menjatuhi hukuman, tapi terpenting adalah bagaimana dapat tercipta perubahan signifikan terhadap sepak bola di Indonesia.

“Kita berharap tragedi ini menjadi yang terakhir dan ke depan kita buka lembaran baru, peradaban sepak bola Indonesia yang bermartabat, profesional, dan tentunya berprestasi,” kata Akmal.

Dia tidak ingin ratusan nyawa yang melayang dalam tragedi Kanjuruhan sia-sia karena penyelenggaraan pertandingan sepak bola di Tanah Air tidak berubah alias sama saja.

“Yang kita harapkan adalah semoga ini menjadi momentum kebangkitan rekonsiliasi para suporter dan juga perubahan atau reformasi total sepak bola nasional yang mengarah pada prestasi,” ujarnya.

Salah satu anggota TGIPF ini menilai, sejak awal telah terjadi beberapa pelanggaran prosedur dalam tragedi Kanjuruhan. Misalnya, ketidaksesuaian jumlah tiket yang dijual panitia pelaksana dengan instruksi kepolisian. 

Polisi sudah menyampaikan bahwa hanya boleh mencetak 25 ribu tiket, tapi panitia pelaksana dari Arema FC malah mencetak tiket hingga 45 ribu tiket.

“Ini overcapacity dari Stadion Kanjuruhan. Ini pelanggaran prosedural yang sangat fatal,” kata dia.

Atas kelalaian ini, menurut Akmal, pihak penyelenggara telah melanggar UU Nomor 11/2022 tentang Sistem Keolahragaan Nasional pasal 103 UU Keolahragaan Nasional, yang menyebutkan; penyelenggara kegiatan olahraga yang tidak memenuhi persyaratan teknis keolahragaan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik Tersangka terancam penjara maksimal lima tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Tak hanya panitia pelaksana, menurut Akmal kelalaian juga dilakukan pihak kepolisian yang melepaskan tembakan gas air mata untuk mengurai suporter. “Itu melanggar FIFA Stadium Safety and Security Regulation,” tekannya. 

“Begitu juga kelalaian di kubu PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang masih menyelenggarakan pertandingan di malam hari. Dari awal adanya regulasi ini berpotensi rawan untuk ketertiban dan keamanan,” tutup Akmal.

Sumber: infoindonesia.id