06 Oktober 2022

Jokowi memerintah pemerintah pusat dan daerah menggunakan mobil dinas (mobdin) berbasis listrik. Ini tertuang dalam Inpres 7/2022

Pemerintah belakangan ini gencar menggaungkan program transisi mobil konvensional ke mobil listrik berbasis baterai. Bahkan, mengejar target industri hilirisasi nikel, unsur utama penyusun baterai kendaraan listrik, sebesar 80%.

Sejalan peningkatan industri hilirisasi tersebut, pemerintah mulai melarang ekspor bijih nikel melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Sekalipun bertujuan positif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan nilai tambah, tetapi diindikasikan terjadi “kongkalikong” pengusaha dan pejabat oligarki ekonomi dan politik dalam terbitnya regulasi tersebut.

“Orang-orang dekat Presiden Joko Widodo (Jokowi) ditengarai ikut bermain dalam terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Instruksi Pemerintah Pusat dan Daerah Menggunakan Kendaraan Listrik Berbasis Baterai sebagai Kendaraan Dinas,” ujar pengamat kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/10).

Achmad menyebut, Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, dan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai lingkaran Istana yang memiliki kepentingan bisnis oligarki di balik aturan pengadaan mobil berbasis listrik melalui terbitnya Inpres 7/2022.

“Dugaan ada pihak pihak yang bermain terhadap mobil listrik di lingkungan pemerintah pusat dan daerah ini sebetulnya sudah mulai tercium pada rapat-rapat Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dari tahun lalu,” jelasnya.

Pernyataan ini muncul bersumber dari eks Kepala LKPP, Roni Dwi Susanto, yang mengatakan, adanya dua oknum pejabat pemerintah yang mendesak dirinya segera memunculkan kendaraan listrik di laman katalog elektronik (e-katalog). Pernyataan tersebut diamini orang dekat Roni di LKPP.

Menurut Roni, bukan dirinya tidak mau melampirkan mobil listrik di e-katalog, tetapi ingin memastikan terlebih dahulu pengadaan dan kesiapan infrastrukturnya. Tujuannya, mencegah terjadinya program mangkrak, seperti masih nihilnya komponen pengisi daya (charger) atau lainnya.

“Roni saat itu belum berani terburu-buru untuk memasukkan dalam e-katalog karena dia memerlukan kepastian agar dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan LKPP dan aturan lainnya yang berlaku. Aturan tersebut mensyaratkan seluruh produk yang ada di e-katalog telah terverifikasi,” tuturnya.

Verifikasi dilakukan mulai dari sisi harga sampai infrastruktur. Ini penting lantaran LKPP menjadi salah satu penanggung jawab jika ditemukan masalah di dalam produk-produk di e-katalog.

Pasca-desakan tersebut, Roni pun mundur dari LKPP dan berpindah tugas di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Posisi Roni digantikan sementara oleh Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan, Sarah Sadiqa.

“Mundurnya Roni dari LKPP tersebut, menurut sebuah  sumber, tak lepas dari desakan dua orang dekat Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan dan Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan,” lanjut Achmad.

Achmad berpendapat, jika dugaan dan pernyataan Roni tersebut benar, maka oknum pejabat telah melakukan pelanggaran hukum dan konflik kepentingan. Keduanya juga dianggap menyalahgunakan wewenang untuk memengaruhi dan mengambil keuntungan dari kebijakan yang dibuat penguasa.

“Keberanian Roni, mantan Ketua LKPP, ini patut untuk kita berikan apresiasi setinggi-tingginya sebagai seorang aparatur negara dia telah berani menolak ‘titipan’ dan desakan dari kekuasaan yang lebih tinggi darinya. Informasi yang dimiliki Roni sangat penting untuk menjadi pintu masuk bagi para penegak hukum untuk menggali informasi yang lebih valid dan akurat lagi terkait adanya dugaan pelanggaran dalam pengadaan mobil listrik tersebut,” tegasnya.

Achmad pun mengimbau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta kejaksaan menindaklanjuti informasi dugaan kongkalikong bisa menindak jika terbukti ada pihak yang turut mengintervensi pengadaan mobil listrik.

“Jangan sampai kebijakan-kebijakan negeri ini terus dikangkangi oleh kepentingan oligarki politik dan oligarki ekonomi yang telah mencengkeram kuat bangsa ini,” tandasnya.

Sumber: alinea.id