Rabu, 26 Oktober 2022
Pengelolaan negara saat ini semakin banyak tumpang tindih yang alih-alih menciptakan efektivitas kinerja dengan orientasi pada hasil-hasil pembangunan malah jadi cenderung membangun dinasti dengan berorientasi pada kekuasaan.
Hal ini sangat dirasakan manakala peranan anggota POLRI masuk diberbagai jabatan sipil. Sebut saja Mendagri yang dijabat oleh Tito Karnavian sebagai mantan Kapolri, 3 orang Pati ditunjuk menjabat sebagai jabatan sipil pada tahun 2020 yaitu: Brigadir Jenderal Adi Deriyan yang menduduki jabatan Staf Khusus bidang Keamanan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Irjen Andap Budhi Revianto yang menduduki jabatan Irjen Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), serta Irjen Reinhard Silitonga yang menduduki jabatan Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kemenkumham. Ketiganya masih tercatat sebagai anggota Polri aktif pada saat itu.
Kemudian sebelumnya Irjen (Purn) Ronny Sompie menjabat sebagai Dirjen Imigrasi sejak 2015 lalu. Saat itu dirinya masih menjadi perwira tinggi aktif Polri. Komjen Setyo Wasisto menjabat sebagai Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sejak November 2018.
Begitu banyak posisi jabatan sipil yang diberikan kepada anggota Polri pada masa pemerintahan Jokowi. Ini sebuah preseden buruk karena institusi Polri akan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Akibatnya akan terjadi ketidakadilan dalam penegakkan hukum. Hukum menjadi tebang pilih, hukum dijadikan alat untuk memukul pihak-pihak yang berseberangan dengan kekuasaan. Akhirnya polisi jadi ikut bermain politik.
Dengan munculnya kasus seperti yang dilakukan Ferdy Sambo, kita bisa melihat bagaimana cengkraman kekuasaan Pati Polri dalam melakukan ketidakadilan secara terstruktur sehingga melibatkan banyak pihak dalam kepolisian. Publik menyadari yang muncul kepermukaan adalah puncak gunung es dimana akarnya kemungkinan lebih besar dan komplek lagi. Dengan rentang waktu penangangan kasus pembunuhan terhadap Brigadir J ini yang terasa lambat memperlihatkan betapa sulitnya untuk menjerat seorang Pati seperti Ferdy Sambo. Institusi sebesar Polri seolah-olah sedang berpikir berkali-kali untuk memperkarakan kasus ini secara tegas dan lugas. Akhirnya publik merasakan kegamangan itu, seperti terjadi saling sandra dalam internal tubuh Polri.
Bagaimana jika kekuasaan berjalan seperti itu di pemerintahan ini? Tentunya publik bisa merasakan bahwa orientasi pemerintah lebih kepada kekuasaan daripada untuk mensejahterakan rakyat. Pergerakkan politik yang terjadi sangat kental mengarah kepada hal tersebut. Kita bisa ingat bagaimana narasi Tunda Pemilu dan Presiden 3 periode dan indikasi kuat yang mengarah kepada makar untuk merubah kosntitusi untuk melegalkan hal ini.
Dengan demikian, agar negara lebih bisa fokus dan tepat menempatkan orang-orang sesuai dengan kapasitasnya dengan prinsip The Right Man in the Right Place dan menghindari konflik of interest dan pola-pola mafia maka pemerintah harus menghentikan keterlibatan Polri dalam jabatan-jabatan sipil. Kembalikan Peran dan Fungsi Polri pada tempat yang semestinya sebagaimana pencegahan terhadap terjadinya Dwi Fungsi ABRI yang pernah terjadi pada masa jabatan Presiden Soeharto.
Untuk menjaga integritas Polri maka sangat perlu untuk dilakukan pemeriksaan terhadap harta kekayaan para Pati. Nilai harta yang tidak masuk akal yang dimiliki oleh anggota Polri perlu diperiksa oleh KPK bekerjasama dengan PPATK sebagai intelejen keuangan negara. Sehingga bisa tersisir anggota-anggota kepolisian yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Negara ini perlu sosok-sosok anggota Polri yang lurus dan fokus terhadap supremasi hukum dan tidak bisa dijadikan alat penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Oleh: Achmad Nur Hidayat | Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik
Sumber: rimanews.id