SEPTEMBER 16, 2022
Ekonomi global kemungkinan akan menghadapi resesi tahun depan. Hal ini disebabkan oleh gelombang pengetatan kebijakan yang agresif yang terbukti tidak cukup untuk meredam inflasi. Hal tersebut disampaikan oleh Bank Dunia dalam sebuah studi barunya.
Dalam studi Bank Dunia tersebut disampaikan bahwa tiga ekonomi terbesar di dunia yakni Amerika Serikat (AS), China dan kawasan Uni Eropa (UE) telah melambat. Bahkan pukulan moderat terhadap ekonomi global selama tahun depan dapat mendorongnya ke dalam resesi.
Dikatakan bahwa ekonomi global saat ini dalam perlambatan paling tajam menyusul pemulihan pasca resesi sejak 1970. Kepercayaan konsumen juga telah turun lebih tajam daripada menjelang resesi global sebelumnya
Presiden Bank Dunia, David Malpass menyampaikan bahwa pertumbuhan global melambat tajam, dengan kemungkinan perlambatan lebih lanjut karena lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi. Ia khawatir tren ini akan bertahan dengan konsekuensi pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang akan hancur.
Bank Dunia memprediksi kenaikan suku bunga yang sedang berlangsung secara global akan berlanjut hingga tahun depan, tetapi kemungkinan tidak cukup membawa inflasi kembali ke tingkat sebelum pandemi COVID-19.
Studi Bank Dunia memperkirakan 2023 pertumbuhan PDB global melambat menjadi 0,5%, dan menyusut 0,4% dalam istilah per kapita yang akan memenuhi definisi teknis dari resesi global. Setelah rekor ekspansi pada tahun 2021, ini akan mempersingkat pemulihan sebelum aktivitas ekonomi kembali ke tren pra-pandemi.
Malpass mengatakan pembuat kebijakan harus mengalihkan fokus mereka dari mengurangi konsumsi ke meningkatkan produksi, termasuk upaya untuk menghasilkan investasi tambahan dan peningkatan produktivitas.
Aroma Krisis Makin Kuat
Ekonomi Indonesia masih tergantung sama dengan partner dagang seperti AS, China dan Uni Eropa. Begitu partner dagang Indonesia mengalami kontraksi ekonomi maka Indonesia pun akan terdampak.
Era komoditas Sawit dan Batubara bernilai tinggi mungkin akan berakhir tahun depan sehingga penerimaan negara dari komoditas tersebut tidak akan setinggi tahun 2022 ini. Inilah letak masalahnya. Ditambah lagi, daya beli masyarakat Indonesia belum pulih semakin memperparah kondisi fundamental ekonomi.
Tim ekonomi Indonesia harus bertindak cepat. Anggaran APBN untuk proyek mercusuar harus segara ditinggalkan dan fokus kepada hal-hal produktif untuk rakyat.
Lemahnya daya beli masyarakat Indonesia akibat pandemi dan ditambah lagi dengan kenaikan BBM sudah menjadi persoalan yang benar-benar membuat rakyat menderita. Ditambah lagi utang luar negeri yang membuat ruang fiskal jadi sempit.
Kekuatan negara dalam ketahanan pangan dan energi saat masih terseok-seok, mudah terdampak bila kondisi geopolitik sedang tidak kondusif.
Lakukan Langkah Konkret
Untuk menghadapi resesi tahun 2023 Indonesia harus secara kongkrit melakukan efisiensi anggaran, mengurangi konsumsi ke meningkatkan produksi, termasuk upaya untuk menghasilkan investasi tambahan dan peningkatan produktivitas sebagaimana yang disarankan oleh Malpass.
Swasembada energi harus dimulai dari sekarang. Proyek-proyek yang tidak memberikan benefit yang signifikan apalagi proyeksinya lemah untuk bisa menghasilkan pendapatan negara harus direduksi. Alihkan dana-dana tersebut untuk membangun sentra-sentra industri yang dapat menopang kemandirian energi.
Dan tentunya peranan harus sebagaimana peran dan fungsinya, bukan sebagai tukang stempel. DPR kritis dan melakukan pengetatan terhadap RAPBN tahun 2023 agar bisa meloloskan proyek-proyek yang feasible dan tolak ajuan yang tidak perlu sebagai langkah antisipatif atas ancaman resesi tahun depan.
Yang harus diperhatikan adalah cara pemerintah membuat kebijakan jangan lagi solusinya diambil dengan cara mengkoleksi pendapatan yang bersumber masyarakat yang daya belinya masih lemah seperti kenaikan PPn, peningkatan daya listrik terendah dari 450VA ke 900VA sebagai langkah menutupi over supply akibat perjanjian dengan pembangkit listrik swasta (IPP) dengan skema take or pay.
Kebijakan-kebijakan tersebut bukan membawa masyarakat dari kesulitan menuju pemulihan tapi justru menambah kesulitan-kesulitan mereka.
Oleh : Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute
Sumber: bisnistoday.co.id