Rabu, 31 Agustus 2022

TEMPO.COJakarta – Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menganggap kebijakan pemerintah yang menggelontorkan tambahan bantalan sosial Rp 24,17 triliun tak akan sebanding dengan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.

Menurut dia, bantalan sosial yang akan digelontorkan dalam bentuk program-program bantuan langsung tunai (BLT) itu dari sisi besaran pun sangat kecil. Target yang disasar juga terbatas hanya golongan keluarga miskin belaka.

“BLT yang disalurkan dinilai tidak sebanding dengan besarnya dampak yang akan ditimbulkan,” kata Achmad melalui keterangan tertulis, Rabu, 31 Agustus 2022.

Program pertama yang dikritisi Achmad adalah adalah BLT terhadap 20,65 juta keluarga penerima manfaat senilai Rp 600 ribu dengan total anggaran Rp 12,4 triliun. Uang ini dibayarkan selama empat kali dengan besaran Rp 150 ribu, tapi pembayarannya dirapel dua kali saja masing-masing Rp 300 ribu.

Kedua bantuan subsidi upah (BSU) Rp 600 ribu untuk 16 juta pekerja yang punya gaji maksimum Rp 3,5 juta per bulan dengan total anggaran Rp 9,6 triliun. Ketiga, pengalihan 2 persen Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk subsidi transportasi di daerah, ojek dan nelayan, hingga perlindungan sosial tambahan lainnya. Total anggaran Rp 2,17 triliun.

“BLT diberikan ke keluarga miskin tidak antisipatif karena yang terdampak bukan masyarakat kecil saja, yang paling terdampak justru kelompok menengah yang akan menjadi kelompok miskin baru,” ujar dia.

Dengan begitu, Achmad menganggap, anggaran bantalan sosial yang digelontorkan sebesar Rp 24,17 triliun itu tidak akan sebanding dengan tingkat risiko yang akan ditanggung atas kebijakan kenaikan harga BBM.

Apalagi, dia mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tren kenaikan harga BBM pengaruhnya langsung mendongkrak angka inflasi hingga di posisi yang sangat tinggi. Oleh sebab itu, kenaikan harga BBM yang memicu inflasi diperkirakan bakal berdampak pada tingkat kemiskinan.

Pada Maret 2005, BPS kata dia mencatat, pemerintah menaikkan harga bensin 32,6 persen dan solar 27,3 persen. Lalu pada Oktober kembali naik untuk solar 87,5 persen dan solar 104,8 persen. Dampaknya angka inflasi hingga 11,7 persen lalu terus terkerek hingga 17,15 persen saat penyesuaian harga berlaku.

Oleh sebab itu, pemerintah kata dia bisa mengantisipasi kenaikan harga ini dengan menggunakan defisit anggaran yang masih ada ruang di atas 3 persen sebagaimana dalam undang-undang karena membolehkan untuk mempertahankan subsidi BBM.

“Dan juga proyek-proyek infrastruktur yang lemah proyeksi benefit-nya terhadap APBN harus dialihkan dulu untuk menangani subsidi BBM, contohnya tunda pembangunan IKN dan PMN Kereta Api Cepat,” ucap Achmad.

Sumber: bisnis.tempo.co