13 September 2022
TRIBUNKALTIM.CO – Pengamat Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) mengaku bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) masih menjadi diskusi yang sama seperti pada masa enam pemerintahan sebelumnya.
Dijelaskan Achmad Nur Hidayat melalui data kepada Karni Ilyas dan bintang tamu ILC lainnya bahwa BBM bersubsidi pada enam pemerintahan, mulai dari zaman Soeharto sampai Jokowi selalu ada dua alasan terkait isu kenaikan harga yaitu, subsidi salah sasaran.
“Ada dua alasan, yang pertama subsidi salah sasaran. Sekarang kita kita bicara 2022, 22 tahun kita tidak beranjak dari alasan ini. Dan menurut saya, ini kita selama 22 tahun, diskusinya ini-ini saja,” kata Achmad Nur Hidayat dikutip dari kanal YouTube Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (13/9/2022).
“Baik itu kadang partai yang berkuasa jadi oposisi, kadang partai yang beroposisi jadi penguasa. Itu semuanya sama saja ceritanya. Dan sampai hari ini bang, September ini, saat pemerintah menaikkan, saya tidak melihat perbaikan subisidi-subsidi supaya tidak salah sasaran,” sambungnya.
Selain itu, terkait kenaikan harga BBM dilakukan lantaran dikhawatirkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) jebol, ia pun merasa bingung cara-cara pemerintah dalam mengelola negara, karena tetap saja terjebak pada alasan yang sama.
Melihat hal itu, Achmad Nur Hidayat menyatakan tidak lagi melihat kecerdasan dari para policy maker, baik itu di parlemen ataupun di pemerintahan.
“Kalau APBN jebol, kenapa kasi bantalan sosial, Rp 24, 17 triliun, sederhana aja berpikirnya. Kalau jebol artinya nggak punya duit, dikasih dong Rp 24,17 triliun. Kedua, harga minyak dunia sedang turun,” ungkap Achmad Nur Hidayat.
Atas kebijakan itu pula, Achmad Nur Hidayat melihat kalau dari semua pemerintahan di Indonesia selama enam periode, logika rakyat diganggu pada era Jokowi.
Di mana seharusnya, kalau harga BBM dunia turun, maka harga di Indonesia juga ikut turun.
“Nah, sekarang ini anomali. Jadi pertanyaannya, kok ini malah menganggu logika selama 6 pemerintahan, logika rakyat tuh diganggu gitu loh. Sederhana aja, kalau harga turun, turun dong,” beber Achmad Nur Hidayat.
“Enam periode sejak pak Harto itu begitu, kok sekarang ini ada kacau. Makanya saya katakan, jangan-jangan BBM ini bukan untuk rakyat kenaikannya. Saya punya argumentasi, pertama adalah kalau ini bukan untuk rakyat lantas BBM ini untuk siapa? Maka, saya katakan bisa jadi ini untuk oligarki,” lanjutnya.
Alasan Achmad Nur Hidayat menyebutkan kenaikan BBM untuk oligarki karena ada pihak yang senang, seperti SPBU swasta kegirangan akan hal tersebut.
Dan yang jadi pertanyaan juga adalah, SPBU swasta (SPBU VIVO) yang justru menurunkan harga BBM, malah pemerintah ikut memerintahkan agar harga disamakan.
Sumber: kaltim.tribunnews.com