Minggu, 28 Agustus 2022
KASUS pembunuhan Brigadir Yoshua telah membuat publik bertanya-tanya mengenai objektivitas kasus-kasus yang ditangani oleh kepolisian. Dan kasus ini mempunyai kemiripan seolah-olah mempunyai template yang sama dengan kasus pembunuhan 6 laskar FPI di KM 50.
Dua-duanya dirasakan oleh publik mempunyai banyak kejanggalan.
Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dan asumsi-asumsi liar di masyarakat bahwa kedua kasus ini sama-sama direkayasa. Mengingat personil-personil yang terlibat dalam penanganan kedua kasus ini adalah orang-orang yang sama.
Ferdy Sambo sebagai tersangka utama dalam kasus pembunuhan Brigadir J dianggap mempunyai kemampuan merekayasa secara luar biasa, karena tidak hanya membuat cerita tapi juga mengkondisikan dan melibatkan aparat-aparatnya untuk membuat rekayasa itu meyakinkan.
Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana upaya menghilangkan jejak CCTV, penghilangan jejak di TKP dan otopsi yang dilakukan.
Kasus Brigadir J yang terjadi sudah dilihat oleh dunia internasional, tentunya ini akan memperburuk citra Indonesia. Dan khususnya kasus KM 50 ada dalam laporan Country Report tahun 2021 yang dimuat di web usembassy.gov milik Departemen Luar Negeri Amerika Serikat sebagai kasus Unlawfull Killing dan pelanggaran HAM.
Tentunya penilaian ini bukan asumsi orang-orang awam, tapi pemerintah Amerika yang mempunyai kekuatan analisis dalam menilai sebuah kasus.
Template yang sama yang digunakan oleh Ferdy Sambo dalam kasus Brigadir J dan kasus KM 50 memperlihatkan ada benang merah yang semestinya itu dijadikan sebagai temuan dan novum baru untuk mengungkap kembali kasus-kasus yang ditangani oleh Satgasus Polri yang dipimpin oleh Ferdy Sambo. Mengingat kedua kasus ini tampak sangat kejam tentunya sebagai bentuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan penegakkan HAM ini seharusnya dibongkar keakar-akarnya.
Kasus pembunuhan Brigadir J membongkar skandal penyalahgunaan kekuasaan di tubuh Polri, dan tentunya masyarakat tidak mau Polri ini dimanfaatkan oleh mafia-mafia yang memanfaatkan institusi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Selama hal ini masih terjadi maka ketidakadilan akan selalu dirasakan oleh rakyat, dan rakyat hanya bisa menyaksikan dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Sumber: publika.rmol.id