Kamis, 14 Juli 2022

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) atau Omnibus Law Sektor Keuangan. Rancangan beleid sapu jagat sektor keuangan ini akan menyatukan sekitar 16 Undang-Undang (UU) di sektor keuangan, mulai dari perbankan, non bank serta pasar modal.

Berdasarkan draft RUU Omnibus Law Keuangan yang diterima KONTAN, rancangan aturan ini juga akan mengatur ulang tugas dan wewenang otoritas keuangan. Misalnya, tugas dan wewenang Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK).

Dalam draf RUU Omnibus Law Keuangan tersebut tertulis usulan fraksi terkait tugas BI yang tertuang dalam Pasal 8. Yakni, Bank Indonesia mempunyai tambahan tugas, salah satunya penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan. Kemudian dalam draft RUU tersebut, ada juga kelembagaan yang lebih powerfull yaitu KSSK.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menyoroti keberadaan KSSK yang didesain sangat powerfull dalam mengatur kebijakan stabilitas sektor keuangan, sehingga BI dan OJK akan kehilangan independensinya mengenai stabilitas sektor keuangan.

Padahal, menurutnya, independensi kebijakan makroprudensial dan stabilitas industri keuangan terhadap BI dan OJK diperlukan untuk menyeimbangkan (membalancing) keinginan eksekutif yang selalu mengedepankan pertumbuhan di atas keberlanjutan.

“Melihat masih panjangnya proses tersebut (penyusunan RUU), pihak pembuat UU perlu mendengar lebih banyak masukan dari publik,” ujar Achmad kepada Kontan.co.id, Kamis (14/7).

Achmad mencontohkan, apa yang terjadi di Sri Lanka, independensi bank sentral diambil alih pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan, maka menyebabkan peran bank sentral menjadi lumpuh sehingga ekonomi berada ke arah yang salah. Misalnya bank sentral Sri Lanka dipaksa menerapkan sistem mematok nilai tukar (pegging exchange rate) yang sebenarnya cadangan devisa Sri Lanka tidak mencukupi untuk melakukan pegging.

“Namun karena bank sentral sudah hilang independesi, akhirnya ekonomi collapse akibat terus tergerusnya cadangan devisa yang saat ini hanya sebatas US$ 50 juta per Juni 2022 dari sebelumnya US$ 7,36 miliar pada September 2021,” jelasnya.

Achmad melihat, dari RUU Omnibus Law Keuangan tersebut, peran KSSK bukan lagi berperan sebagai koordinasi, melainkan menjadi peran eksekusi yang mengambil alih independensi BI dan OJK meski dalam hal stabilitas sektor keuangan.

Ia mengingatkan, jika BI dan OJK tidak independen akan menggiring arah ekonomi hanya berfikir sempit sesuai selera eksekutif, yang umumnya mengejar pertumbuhan jangka pandek dengan mengorbankan keberlanjutan ekonomi di jangka panjang.

Achmad juga menyoroti terkait tugas tambahan BI berupa penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan. Namun, hal tersebut perlu didukung namun dengan catatan tetap cakupan independensi BI tidak dipangkas.

” Harus diakui peran BI dalam mendukung pertumbuhan ekonomi hanya melalui transmisi harga sangat tidak dapat diandalkan. Sementara BI memiliki kapasitas lebih dari itu, pengendalian sisi suply side dalam pengendalian harga sangat terbatas kemampuannya karena masih dangkalnya pendalaman sektor keuangan Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN,” tandasnya.

Sumber: nasional.kontan.co.id