Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute
Beberapa hari ini publik dikejutkan atas pernyataan Menko Marves Luhut Binjar Panjaitan bahwa untuk masuk dan naik ke Candi Borobudur kini dikenakan biaya Rp750 ribu untuk turis lokal dan US$100 untuk turis asing. Serta membatasi jumlah pengunjung per harinya sejumlah 1.200 orang. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa Candi Borobudur mengalami penurunan struktur bangunan. Dan wisatawan yang berkunjung wajib menggunakan jasa pemandu wisata lokal untuk menyerap lapangan kerja baru.
Terang saja pernyataan ini mengejutkan publik, bagaimana tidak Borobudur yang selama ini terbuka untuk masyarakat mendadak hanya segelintir orang berduit saja yang bisa masuk dan naik ke Candi Borobudur. Namun ketika kemudian Luhut bertemu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, infonya kenaikan tersebut di tangguh kan, apakah ini hanya drama saja?
Candi Borobudur sebagai kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia adalah salah satu kebanggaan rakyat Indonesia bahwa bangsa ini mempunyai sejarah peradaban yang tinggi. Di dalam hati masyarakat yang berkunjung ke tempat ini pasti merasakan kekaguman dan kebanggaan yang memupuk kecintaan terhadap NKRI. Tentunya hal ini menjadi sangat penting jika banyak masyarakat yang berkunjung ke tempat ini.
Setelah muncul banyak protes seolah-olah ingin merevisi pernyataan kenaikan harga tersebut dianulir lagi bahwa itu bukan harga tiket masuk tapi harga jika ingin naik ke bangunan Candi Borobudur. Hal ini menjadi sangat aneh, seandainya itu harga jika ingin naik ke bangunan candi harga bayar dengan nilai sedemikian mahal kenapa harga tersebut disandingkan dengan nilai Rp5.000 untuk anak sekolah, apakah maksudnya jika anak sekolah boleh naik ke bangunan candi dengan harga Rp5.000?
Sepertinya ada perubah pernyataan dari tiket masuk menjadi harga untuk naik bangunan candi. Ini semakin menunjukan tidak baiknya cara komunikasi pemerintah dengan publik sehingga pemerintah harus mengklarifikasi pernyataan untuk sesuatu yang mudah disampaikan secara gamblang.
Jika kembali asumsi atas pernyataan awal kenaikan tersebut adalah mengenai harga tiket masuk maka negara berbisnis dengan rakyatnya sendiri. Dan hanya orang-orang kaya yang akan menikmati keindahan di lokasi candi borobudur. Masyarakat kalangan bawah akan sulit berkunjung apalagi bersama keluarga dan ini tentunya rakyat akan merasa didiskriminasi. Jika solusinya adalah menaikan harga maka pemerintah seperti tidak mau kerja karena untuk menjaga kelestarian candi Borobudur bisa dilakukan hanya dengan mengatur pola pengamanan secara teknis.
Jika asumsinya ke penjelasan terakhir bahwa Rp750 ribu rupiah atau US$100 itu jika ingin menaiki bangunan maka harga tersebut bukanlah kenaikan, tapi lebih tepatnya dikatakan sebagai biaya tambahan diluar tiket masuk. Dan ini pun masih menjadi sesuatu yang aneh jika tujuan utamanya adalah untuk menjaga Candi Borobudur ini supaya tidak mengalami penurunan struktur bangunan lebih parah. Maka tentunya kebijakan yang cocok adalah melarang siapapun untuk naik bangunan candi sehingga tidak ada masyarakat yang merasa didiskriminasikan dan diperlakukan tidak adil, dan tentunya kebijakan ini lebih sederhana untuk diimplementasikan. Tinggal buat pembatas dan diawasi secara ketat oleh bagian keamanan.
Untuk kewajiban menggunakan pemandu wisata sebaiknya disesuaikan saja dengan kemampuan pengunjung. Tidak semua masyarakat perlu didampingi karena sebagian dari pengunjung tentunya ada yang sudah berkunjung ke candi Borobudur berkali-kali. Cukup bagi mereka yang membutuhkan karena belum tentu juga pengunjung mempunyai uang lebih untuk membayar.
Pemerintah sebaiknya kembali kepada prinsip-prinsip dasar negara yang salah satunya adalah untuk mensejahterakan rakyat, keadilan bagi seluruh rakyat. Jika prinsip-prinsip itu dipegang dalam mengambil kebijakan maka kebijakan menaikan harga ini tentunya bukan langkah yang akan diambil.