Selasa, 28 Juni 2022

JAKARTA – Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2023 menyepakati postur indikator pembangunan tahun depan dengan beberapa indikator yang berbeda dari usulan pemerintah.

Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, dalam raker bersama pemerintah dan Bank Indonesia, di Jakarta, Senin (27/6), mengatakan tantangan yang dihadapi tidak mudah sehingga asumsi makro yang sudah diputuskan saat ini, belum tentu sama, nanti di nota keuangan bisa saja berubah.

Indikator pembangunan itu meliputi pertumbuhan ekonomi yang disetujui sebesar 5,3-5,9 persen atau sama dengan usulan pemerintah. Aspek percepatan pemulihan ekonomi pun termasuk tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang disetujui sebesar 5,3-6 persen dan untuk rasio gini disetujui 0,375-0,378. Sedangkan penurunan emisi gas rumah kaca secara kumulatif sebesar 27,02 persen yang juga sama seperti dalam dokumen usulan pemerintah.

Indikator pembangunan tahun depan juga termasuk mengenai peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia (SDM), meliputi indeks pembangunan manusia (IPM) dan tingkat kemiskinan.

Panja DPR, pemerintah, serta Bank Indonesia menyepakati untuk IPM sebesar 73,31-73,49, sedangkan tingkat kemiskinan sebesar 7,5-8,5 persen yang keduanya sama dalam usulan pemerintah.

Indikator yang berbeda dari usulan pemerintah adalah nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar nelayan (NTN) masing-masing disepakati sebesar 105-107 dan 107-108.

Dalam dokumen KEM PPKF, pemerintah mengusulkan NTP hanya 103- 105 dan NTN sebesar 106 sampai 107.

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2023 diarahkan untuk mencapai sasaran utama yakni mengembalikan momentum pertumbuhan melalui peningkatan produktivitas sekaligus kualitas dan daya saing sumber daya manusia.

“Overshoot”

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan asumsi pertumbuhan ekonomi yang disepakati pemerintah dan Banggar masih overshoot. Dia memproyeksi pertumbuhan hanya di kisaran 4 sampai 4,5 persen pada 2023 karena masih terdapat risiko eksternal seperti sinyal resesi dari AS, tingkat kenaikan suku bunga yang meningkatkan cost of fund pelaku usaha, serta inflasi energi dan pangan seiring belum dipastikan kapan perang Russia- Ukraina berakhir.

“Untuk dorong pertumbuhan 5,9 persen prasyaratnya stimulus fiskal harus jor-joran, belanja subsidi energi wajib diperlebar,” kata Bhima.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik Narasi Institut, Achmad Nur Hidayat, mengatakan target 5,9 persen dengan tingkat inflasi berkisar 2,0-4,0 persen secara tahunan atau year on year (yoy) adalah target yang terlalu optimis dan sangat tidak realistis. Selain itu juga tidak membumi seolah ancaman perang Ukraina- Russia hilang dan tidak ada ancaman stagflasi di seluruh dunia.

Diminta terpisah, pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan pemerintah harus hati-hati menyikapi keputusan Banggar DPR. Menurutnya, lebih baik pesimis dari daripada terlalu optimis.

“Artinya, DPR lebih optimistis dari pemerintah soal prospek pendapatan tahun depan. Maka Menkeu perlu melobi agar usulannya diperhatikan. Bagaimanapun dalam kondisi seperti sekarang, kita lebih baik pesimis daripada terlalu optimis. Karena kalau nanti hasilnya tidak sesuai harapan, akan ada cost yang harus kita keluarkan,” ujar Wibisono.


Sumber : koran-jakarta.com