Rilis 21 Februari 2022
Polemik pemindahan IKN terus bergulir menjadi perbincangan berbagai kalangan intelektual dari sudut pandang berbagai disiplin ilmu. Narasi yang dibangun pemerintah untuk melegitimasi urgensi pemindahan IKN agar disegerakan tidak cukup kuat. Berbagai bantahan ilmiah tak terbantahkan untuk menolak narasi-narasi tersebut terus bermunculan. Membuat narasi-narasi pemerintah tampak semakin lemah. Tapi sepertinya Presiden tidak mau mendengar.
UU IKN dan Cipta Kerja jadi bukti bahwa hukum dibuat untuk melegalkan tindakan penguasa. Kritik dari banyak pihak tak mempan di hadapan Joko Widodo. Petisi penolakan pun telah menjadi bola salju hingga saat ini sudah ditandatangani oleh 32.869 orang. Jauh lebih banyak dibandingkan dengan petisi pendukung yang hingga saat ini hanya ditandatangani oleh 1.168 orang. Ini membuktikan bahwa mayoritas menolak pemindahan IKN. Tapi hal tersebut tidak membuat Presiden Jokowi bergeming.
Sungguh mengejutkan saat UU IKN ternyata menurut Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR alokasi dananya belum ada. Hal ini diungkapkan saat Dirjen ditanya oleh anggota Komisi V DPR RI. Kabar ini membuat pemindahan IKN ini tampak seperti dagelan dimata sebagian masyarakat.
UU IKN ini digarap oleh DPR dan Pemerintah hanya dalam waktu 42 hari, mirip dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang hanya puluhan hari. Waktu singkat, tidak partisipatif. Selama 42 hari, hanya dua hari konsultasi publik ke kampus-kampus. Hal ini membuat publik bertanya-tanya tentang siapa yang punya kepentingan dibelakangnya. Tidak cukup ruang bagi publik untuk ikut serta mengkaji UU tersebut seolah-olah ada kebutuhan mendesak yang ingin diwujudkan.
Secara prosedur UU IKN ataupun UU Cipta Kerja seolah-olah tampak demokratis karena diputuskan oleh parlemen, tapi faktanya parlemen bertindak tidak mewakili aspirasi rakyat. Indikatornya sangat kuat bahwa parlemen saat ini menjadi kaki tangan penguasa untuk melegalkan berbagai kepentingan. Khususnya di polemik UU IKN, parlemen benar-benar tidak mewakili aspirasi rakyat sehingga rakyat mencari kanal lain untuk menyampaikan aspirasinya. Ini bentuk demokrasi yang semu. Demokrasi hanya cangkang semata, sementara isi yang sebenarnya sangat otoriter. Tidak heran jika hingga saat ini presiden terus DIAM. Masih ingat bukunya How Democracies Die (2018) karya Steven Levitsky and Daniel Ziblatt ahli ilmu politik dari Universitas Harvard, demokrasi mati bukan oleh militer, tapi oleh mereka yang dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Jadi ini merupakan yang beberapa tahun ini saya khawatir, itu menunjukkan “legalisme otokratis”. Jadi bukan “rule of law” yang esensinya untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan oleh pembuat hukum tertinggi disebuah negara, tapi “rule by the law” yang merupakan hasil keputusan yang dipaksakan kepada warga negara. Menggunakan hukum hanya formalitas saja dan ini sangat mengkhawatirkan. Bila hal ini terus dibiarkan maka akan terus terjadi praktek-praktek melegalkan kepentingan segelintir orang yang sedang berkuasa dan kroni-kroni yang berada dibelakangnya, yang berpotensi merusak tatanan berbangsa dan bernegara dengan membuat aturan/undang-undang yang melindunginya/melegalkannya.