Ditengah intensitas ketegangan Geopolitik Ukraina-Rusia meningkat yang diikuti kenaikan harga minyak, Pemerintah mengklaim sudah membantu masyarakat dengan menetapkan Pertalite sebagai Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP), agar harganya tetap terjangkau di kisaran Rp 7.650 per liter. Begitu juga dengan biosolar harganya disubsidi Pemerintah sehingga tetap Rp 5.150 per liter. Benarkah demikian? Apakah penetapan JBKP tersebut malah membuat angkanya pertalite, solar dan premium? Apa yang sebenarnya terjadi?
Klaim tersebut tidak disertai data. Faktanya, antrian SPBU untuk Pertalite dan Solar hingga Rabu 13 April 2022 di Jabotabek, Banten dan Bogor masih terlihat.
Bahkan ada beberapa SPBU yang tidak diberikan pasokan pertalite dan solar oleh Pertamina sehingga Publik disekitar SPBU tersebut harus mencari jauh di SPBU lain yang akhirnya menambah panjang antrian.
KLAIM PERTAMINA SALAH TEMPAT
Selain itu, Pertamina juga mengklaim sudah berkontribusi nyata untuk menjaga daya beli masyarakat dengan menyesuaikan harga Pertamax yang masih jauh di bawah harga keekonomiannya yang sekitar Rp 16 ribu.
Dengan penyesuaian menjadi Rp 12.500 per liter, maka Pertamina masih menanggung selisih harga jual Pertamax sebesar Rp 3.500 per liter.
Pertamina menjelaskan bahwa setiap 1 liter Biosolar yang dibeli masyarakat, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 7.800.
Menurut Pertamina, nilai subsidi tersebut sudah 150 persen atau 1,5 kali lebih tinggi dari harga yang jual ke masyarakat sebesar Rp 5.150.
Sedangkan setiap 1 liter Pertalite yang dibeli masyarakat, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 4.000-4.500 per liter. Nilai subsidi ini juga lebih dari 50 persen atau setengah dari harga jual ke masyarakat yang sebesar Rp 7.650.
Klaim pertamina tersebut jangan dianggap sebagai prestasi. Itu keliru kenyataannya kontribusi subsidi pertalite dan solar tersebut bukan dari pertamina melainkan APBN yang akan menutup klaim pertamina ditahun berikutnya.
PEMERINTAH MEMILIKI RUANG FISKAL CUKUP
Tahun 2022, harga komoditas Batubara dan Minyak Sawit mengalami kenaikan. Kenaikan tersebut menyebabkan APBN mendapatkan windfall penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari ekspor keduanya.
Prakiraan windfall PNBP dari kedua komoditas tersebut sekitar Rp 144 triliun sampai Rp200 triliun pada tahun 2022 tergantung naik berapa persen dari asumsi harga minyak APBN US63/barrel.
Dana Rp144 Triliun sd Rp200 Triliun cukup mempertahankan harga pertalite dan solar di level saat ini yaitu Rp7650 (pertalite) dan Rp 5150 (Solar).
Bahkan dana tersebut cukup menutupi seluruh subsidi energi yang meliputi BBM, listik dan LPG 3 kg yang dianggarkan tahun 2022 sebesar 134,03 triliun.
PRIORITAS SUBSIDI BUKAN BAYAR UTANG
Data diatas menyimpulkan bahwa Harga Pertalite, Harga LPG 3KG dan Harga Listik sepanjang 2022 seharusnya tidak perlu naik karena APBN Memiliki Ruang Fiskal Cukup di 2022.
Lain soal, bila ternyata prioritas dari PNBP tersebut bukan ke subsidi energi melainkan untuk bayar utang 2022 yang diprakirakan mencapai Rp470 triliun.
Bila hal tersebut ditempuh maka pemerintah akan tetap ngotot menaikan Pertalite, Listrik dan LPG 3 kg di tahun 2022. Ini sama artinya pemerintah salah prioritas.
Bukannya alih-alih rakyat menikmati windfall profit dari kekayaan negerinya malah yang menikmati negara debitur.
Benar bahwa bunga utang dan cicilannya harus dibayar namun kecerdasan otoritas ekonomi dalam menempatkan alokasi anggaran harusnya diperlihatkan dengan baik.
Tim ekonomi saat ini harus pandai mengatakan kepada debitur bahwa Indonesia tetap komitmen pada pembayaran utang namun prioritas di era kenaikan harga saat ini, kepentingan domestik menjadi perhatian pertama.
Kecerdasan diplomasi harus diperlihatkan, bukan malah memaksakan agar harga pertalite, listik dan LPG 3kg dinaikan di tahun 2022. Kasihan Publik bila itu yang terjadi.
Sumber: Ekonomi Bisnis