Akhir-akhir ini, negara kita dihadapkan dengan banyak persoalan seputar kebutuhan pokok masyakarat. Dari mulai kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng, naiknya harga kacang kedelai yang membuat pengusaha tahu dan tempe berhenti produksi, harga cabai, gas dan juga daging sapi naik, dan sekarang gula hilang di pasaran.
Kelangkaan minyak belum juga tertangani dengan tuntas. Pemerintah malah menyikapinya dengan sidak ke pasar-pasar tradisional. Hasilnya, saat sidak seolah tersedia, namun setelah sidak suplainya menjadi langka lagi.
Penyikapan kelangkaan pangan oleh pemerintah sangat tidak kompeten. Bukan alih-alih mengurai benang kusut rantai suplai dan distribusi malah memilih kebijakan pencitraan mendatangi pasar-pasar dengan membawa sejumlah awak media. Apalagi ada pernyataan dari Kemendag bahwa kelangkaan minyak akibat penimbunan oleh masyarakat. Bagaimana mungkin masyarakat menimbun sementara kemampuan daya beli mereka sedang rendah? Di sisi pengeluaran, komponen terbesar (konsumsi rumahtangga) hanya tumbuh 2,02% sepanjang tahun 2021. Ini bukti rendahnya perbaikan daya beli masyarakat.
Pernyataan tersebut memberikan kesan bahwa pemerintah tidak memahami antara menimbun yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan stok/persediaan untuk konsumsi.
Sekarang giliran gula yang hilang dipasaran. Ini akan menjadi masalah serius di masyarakat. Terutama pelaku ekonomi mikro kecil pasti akan sangat menderita.
Khusus gula pada bulan Januari lalu sudah diprediksi defisit dari jumlah kebutuhan yang diproyeksikan akan meningkat hingga 7,13 juta ton sedangkan rata-rata kemampuan produksi perusahaan gula BUMN hanya berkisar di 2,2 juta ton per tahun.
Dan hal ini juga yang mendorong kebijakan untuk menghadirkan investor swasta (asing) yang menguasai sekitar 49% saham. Semestinya langkah yang diambil ini bisa berdampak kepada kestabilan ketersediaan gula pasir. Tapi ternyata kelangkaan gula pasir bisa terjadi saat ini.
Kenapa kenaikan dan kelangkaan barang-barang pokok ini terjadi secara bergiliran? Seperti sebuah urutan dalam timeline tertentu. Ini menjadi sebuah pertanyaan besar. Jika permasalahannya hanya di masalah teknis tentu masalah ini tidak akan berlarut-larut.
Sekali lagi, ini menunjukan langkah pemerintah mengatasi persoalan kelangkaan pangan ini belum memadai dan terkesan tidak kompeten. Belum ada langkah terkoordinasi lintas kementerian/lembaga dan otoritas untuk memastikan bahwa di Bulan Ramadhan nanti, masyarakat tidak mengalami kelangkaan seperti pada bulan Februari dan Maret ini.
Pemerintah terkesan tidak berdaya menghadapi para produsen bahan pokok dan terkesan malah menyalahkan publik. Sungguh ironi. Kelangkaan-kelangkaan barang-barang pokok ini mungkin akan memberikan insentif untuk pemerintah melakukan impor.
Masalahnya impor menjadi sesuatu yang merugikan neraca perdagangan Indonesia yang saat ini tengah negatif dan patut diingat bahwa konflik dunia yang memanas Ukraina-Rusia menyebabkan mengimpor lebih mahal daripada mengoptimalkan dari sumber dalam negeri sendiri.
Pemerintah perlu terobosan atas kelangkaan pangan. Penyikapan saat ini terkesan tidak kompeten. Salah satu saran untuk menyikapi kelangkaan pangan adalah pemerintah membentuk desk mafia penimbunan pangan sebagaimana pembentukan desk BLBI.
Desk tersebut harus lintas kementerian dan lintas aparat keamanan, disamping juga menghapuskan kebijakan pemerintah sendiri yang membuat distorsi harga seperti penetapan batas HET Permendag, yang terbukti menyebabkan bahan pokok menjadi langka.
Sumber: Neraca Rabu, 16/03/2022