Jakarta, Beritasatu.com – Pakar Kebijakan Publik dan CEO Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai, kebijakan larangan ekspor minyak goreng ambigu dan didesain untuk pencitraan, bukan untuk menyelesaikan persoalan naiknya dan langkanya minyak goreng di pasar tradisional.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng atau crude palm oil (CPO) dan minyak goreng mulai 28 April 2022. Namun kemudian kebijakan itu diperjelas, bahwa yang dilarang adalah ekspor produk refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein. Pasar terlanjur bereaksi bahwa yang dilarang adalah ekspor CPO.
“Melihat jumlah RBD olein sebagai produk-produk turunan CPO tersebut hanya sedikit sekitar 2,7 juta ton dari 33 juta ton/tahun dari total ekspor produk minyak sawit atau sekitar 8,18% saja, ini artinya sama saja dengan membatalkan larangan ekspor CPO karena 91,8% produk CPO dibolehkan ekspor. Ini kebijakan yang ambigu dan didesain untuk pencitraan,” kata Achmad Nur Hidayat dalam pernyataan resminya, Rabu (27/4/2022).
Achmad menyampaikan, sebelumnya Presiden Jokowi juga mengeluarkan kebijakan larangan ekspor batu bara. Namun baru seminggu kemudian dibatalkan oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Untuk kasus larangan ekspor CPO ini sudah dibatalkan sebelum kebijakan ini diberlakukan per 28 April 2022.
“Tampaknya untuk memberikan statement bahwa larangan ekspor CPO ini dibatalkan akan membuat wajah pemerintah tidak punya pendirian sama seperti kasus pelarangan ekspor Batubara. Tentu saja hal ini membuat presiden kehilangan wibawanya, sehingga cukup bawahannya sekelas Dirjen yang meralat pernyataan beliau,” kata Ahmad.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya menyampaikan, jangka waktu pelarangan ekspor minyak goreng atau RBD palm olein sampai dengan tersedianya minyak goreng curah di masyarakat dengan harga Rp 14.000 per liter yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Pelarangan ekspor tersebut hanya berlaku untuk produk RBD Palm Olein dengan tiga kode harmonized system (HS) yaitu: 1511.90.36; 1511.90.37 dan 1511.90.39. Adapun untuk CPO dan RPO masih tetap dapat diekspor sesuai kebutuhan. Dengan demikian, perusahaan tetap bisa membeli TBS dari petani.
Kebijakan larangan ekspor tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Perdagangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Article XI GATT yang mengatur bahwa negara anggota WTO dapat menerapkan larangan atau pembatasan ekspor sementara untuk mencegah atau mengurangi kekurangan bahan makanan atau produk penting lainnya. Larangan ekpsor RBD palm Olein berlaku untuk seluruh produsen yang menghasilkan produk RBD palm olein.
Sebelumnya, pemerintah telah menerapkan kebijakan terkait minyak goreng curah, namun kebijakan ini dianggap belum cukup efektif. Sebab, di beberapa tempat masih ditemui minyak goreng curah dengan harga di atas Rp14.000 per liter.
Menko Airlangga mengatakan, bahwa Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Polri melalui Satgas Pangan akan menerapkan pengawasan yang ketat dalam pelaksanaan kebijakan ini. Pengawasan akan dilakukan secara terus-menerus termasuk dalam masa libur Idul Fitri.
“Evaluasi akan dilakukan secara terus-menerus atas kebijakan pelarangan ekspor ini. Setiap pelanggaran akan ditindak tegas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan dalam hal dianggap perlu, maka akan dilakukan penyesuaian kebijakan dengan situasi yang ada,” tegas Menko Airlangga.
Sumber: BeritaSatu.com