Pemerintah merencanakan pembiayaan IKN sebesar Rp466 Triliun yang terdiri dari APBN sebesar 19,2% atau Rp89,4 Trilun, KPBU sebesar 54,4% atau Rp253,4 Triliun dan Swasta Rp123,2 Triliun (26,4%). Swasta yang dimaksud harusnya berbentuk Foreign Direct Investment (FDI) namun Kepala Otorita menarasikan hal yang berbeda dan tidak masuk akal.
Kepala otorita IKN, Bambang Susantono mengusulkan ide dana urunan (crowdingfund) untuk membangun IKN. Hal ini sangat aneh karena dana urunan membutuhkan konsensus dari publik sementara penyusunan UU IKN dinilai tidak partisipatif karena terbukti digugat oleh kelompok masyarakat. Setidaknya ada dua (2) gugatan yang sedang diuji oleh MK kelompok masyarakat tersebut dipimpin oleh Marwan Batubara dan Prof Din Syamsuddin.
Ide dana urunan adalah ide tidak masuk akal dan Ide yang memberikan sinyal keputusasaan karena tidak ada lagi investor asing yang tertarik dalam pembangunan IKN. UEA sudah berkomitmen memberikan 20 miliar USD, namun Arab Saudi belum memberikan keputusan angka komitmennya. Besar kemungkinan Arab Saudi tidak berkenan memberikan karena dananya dibutuhkan untuk proyek dalam negeri Arab Saudi seperti proyek jeddah center sebuah proyek pariwisata baru Pangeran Muhammad bin Salman yang bernilai 20 miliar USD.
Pasca hengkangnya Investor besar proyek IKN yaitu SoftBank, kelayakan pembangunan IKN menjadi menyusut 80% dan tidak sesuai dengan desain awal. Bagaimana tidak dana 100 miliar USD atau setara Rp1430 Triliun tiba-tiba tidak tersedia sementara yang tersedia hanya komitmen UEA yaitu sekitar 20% dari 100 miliar USD. Itu pun dinilai belum kongkret karena dananya belum masuk ke otorita IKN alias baru komitmen lisan. Proyek IKN yang digembar gemborkan beberapa tahun ini menjadi tidak jelas kelanjutannya.
Nuansa optimis masa depan proyek IKN ini semakin suram bila mengharapkan investasi yang bersifat FDI seperti Softbank atau UEA. Muncul kemudian ide memanfaatkan pasar modal nasional dan internasional untuk membiayai proyek IKN. Ide tersebut disampaikan Ibu Menteri Keuangan, Sri Mulyani melalui INA (Investment National Authority). Ide dana urunan itu membutuhkan dana besar yang akan sulit untuk dicapai. Seperti pengalaman sebelumnya masyarakat berupaya urunan untuk membeli kapal selam, tapi gagal diwujudkan. Apalagi ditengah situasi kenaikan berbagai kebutuhan pokok masyarakat tentunya secara langsung akan mempersempit peluang terlaksananya ide crowdfunding tersebut.
Bagi perekonomian negara tentunya proyek IKN ini tidak mempunyai feasibility yang cukup baik dibandingkan dengan pengembangan industri potensial ke daerah-daerah karena IKN adalah wilayah administratif sebagai pusat pemerintahan. Tentunya ambisi untuk menggoalkan pembangunan IKN ini tampak ada motif lain terkait dengan siapa yang akan mendapat keuntungan yang besar dari pembangunan IKN ini.
Jika seandainya benar pembiayaan IKN ini menggunakan Crawdfunding dari masyarakat menunjukkan bahwa pemerintah gagal atau kurang kompeten dalam menghasilkan pendapatan negara. Tentunya ini sangat ironi jika dikaitkan dengan opini perpanjangan masa jabatan presiden ataupun penundaan pemilu yang resikonya adalah negara akan semakin terpuruk karena dikelola oleh pemerintah yang kurang mempunyai kompetensi.
Sebaiknya pemerintah fokus kepada pemulihan ekonomi yang impactnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat banyak karena ini adalah amanah konstitusi. Hingga negara ini mempunyai ketahanan / stabilitas ekonomi. Ini adalah prioritas yang lebih rasional daripada pembangunan IKN saat ini.
@rilis 24 Maret 2022 |