Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengungkapkan akan tetap mengeluarkan kebijakan menaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 Persen pada 1 April 2022 nanti.
Ide tersebut adalah ide buruk yang tidak tepat karena daya beli masyarakat masih rendah. Saat daya beli masih terpukul seharusnya pemerintah mendukung belanja publik bukan malah mengerem belanja rumah tangga. Menaikan PPN menjadi 11 persen akan mengerem belanja rumah tangga.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih dibawah normal dari pra-COVID. Sebelum COVID konsumsi rumah tangga bisa mencapai 5.04 persen. Saat COVID ini, Pertumbuhan konsumsi rumah tangga 2.02 persen di 2021 dan 2,63 persen di 2020. Ini bukti daya beli yang rendah dari publik khususnya sektor rumah tangga.
Ide menaikan PPN 11 persen tidak menunjukan kementerian keuangan tidak pro kepada rumah tangga.
KENAIKAN PPN TIDAK PRO GROWTH
Kenaikan PPN 11 persen akan menghambat potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indonesia butuh pertumbuhan 5,2 persen di tahun 2022, kenaikan pajak PPN menjadi 11 persen akan menambah berat target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen tersebut.
PPN Indonesia terendah dibandingkan G20: Ini kesempatan Mengundang Investor
Klaim Ibu Sri Mulyani bahwa PPN Indonesia masih dibawah PPN negara G20 yang memiliki PPN sampai sebesar 15,5 persen menjadi alasan PPN Indonesia harus dinaikan 11 persen.
Bila Indonesia mau konsisten mengundang investor, Indonesia harus berada dalam rezim low-rate tax. Musuhnya investor adalah pajak termasuk PPN dan PPH. Bila pajaknya tinggi maka Investor akan enggan berinvestasi di Indonesia. PPN tinggi akan mengurangi volume penjualan sektor bisnis sehingga para pebisnis dan investor tidak menyukai ide tersebut.
Indonesia harus mempertahankan low tax rate bukan malah menaikannya termasuk naik PPN 11 persen. Tindakan menaikan PPN 11 persen tidak konsisten dengan keinginan Indonesia untuk mengundang investor. Indonesia harusnya menggunakan strategi low tax rate sebagai strategi nasional mengundang investor.
ALASAN KENAPA INVESTOR KE VIETNAM DARIPADA KE INDONESIA
Kenaikan PPN 11 persen akan membuat Indonesia tidak menarik bagi investasi. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh Vietnam.
Menteri Keuangan Vietnam Mr Ho Duc Phoc mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih smart yaitu memangkas tarif PPN dari 10 persen menjadi 8 persen. Dalam keterangannya Pemerintah Vietnam lebih memilih menurunkan tarif PPN daripada pengurangan pajak penghasilan karena pemotongan PPN akan membantu semua bisnis, bukan hanya mereka yang melaporkan keuntungan. Kebijakan tersebut sudah berlaku sejak 1 Februari 2022.
Tujuan memangkasan PPN vietnam menjadi 8 persen adalah untuk mendorong pertumbuhan di seluruh sektor bisnis. Penurunan tarif PPN dari 10% menjadi 8% sangat membantu bisnis dan rumah tangga.
1 Persen Naik PPN Berdampak Inflasi naik 0.3-0,5 persen
Kenaikan Tarif PPN 11 Persen Berdampak ke Inflasi karena PPN melibatkan seluruh lini rumah tangga dan bisnis. Naiknya 1 persen PPN akan mendorong inflasi naik 0,3 ppt-0,5 ppt (0,3-0,5%) berdasarkan simulasi.
Bila melihat kenaikan UMP provinsi tahun 2022 rerata 1.09%. Artinya kenaikan upah kelas bekerja berkurang sekitar 27,5%-45% akibat kenaikan 1% dari PPN tersebut.
Tergerusnya 27,5-45% kenaikan upah tersebut memiliki makna sangat besar bagi kelas pekerja bawah sehingga kenaikan upah 2022 sedikit dirasakan manfaatnya oelh mereka yang bekerja dibawah.
APBN 2022 AMAN TANPA MENAIKAN PPN 11 Persen
Tahun 2022, APBN Indonesia mendapatkan windfall tax dari kenaikan harga Ekspor Sawit dan Batubara. Alasan kenaikan PPN 11 persen untuk mengurangi tekanan APBN adalah tidak masuk akal.
Bahkan tahun 2022, ini sebenarnya pemerintah memiliki ruang untuk menurukan tax rate karena penerimaan negara dari kenaikan harga batubara dan sawit sudah mencukupi membiayai belanja APBN 2022.
Pemerintah sudah menaikan Pungutan Ekspor Sawit dengan PMK terbaru pada 17 Maret 2022 yaitu PMK 23/2022 bahwa bila harga sawit diatas 1500 USD/Ton, Pungutan Ekspor menjadi USD 375/ton ekspor CPO.
Pemerintah mendapatkan tambahan sekitar USD 706/ton dari ekspor sawit yang berasal dari Pungutan Ekspor USD375/ton ditambah Bea Keluar USD200/ton ditambah PPH USD 131/ton dari sawit yang di ekspor. Bila ekspor CPO 2022 mencapai 33,21 juta ton maka pemerintah mendapatkan penerimaan sawit sekitar 23,4 miliar USD atau sekitar Rp335 triliun.
BPDPKS akan menerima sekitar Rp177 triliun (melalui PE) dan Kementerian Keuangan/Bendahara Negara menerima sekitar Rp158 triliun melalui bea keluar dan PPH. Patut dicatat Asumsi tersebut bila harga sawit tetap diatas 1500 USD/ton sepanjang tahun 2022.
Karena adanya penerimaan negara dari sawit sebesar Rp158 triliun tersebut sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi untuk menaikan PPN 11 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seharusnya memahami logika sederhana tersebut. Saat harga komoditas naik, seharusnya rakyat Indonesia menikmati penerimaan negara tersebut bukan malah menjadi susah akibat menaikan PPN 11 persen.